Ad Code

Responsive Advertisement

Kealkhairaatan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

     Bagi masyarakat Indonesia Timur, tidak asing lagi dengan nama ini. Pasalnya, lembaga pendidikan Islam ini tersebar hingga ke pelosok-pelosok di seantero Indonesia Timur. Mulai dari Palu hingga ke Papua. Bahkan di Jakarta dan Surabaya pun telah berdiri perwakilannya.
      Lantaran itu, jika orang menyebut Alkhairaat, maka yang akan terbersit di ingatan masyarakat, adalah nama Habib Idrus bin Salim Al-Jufri. Di kalangan abnâul Alkhairaat menyebutnya dengan sebutan Guru Tua atau Ustadz Tua. Seorang ulama ternama yang lahir di Taris, Hadramaut, Yaman Selatan pada 14 Sya'ban 1319 Hijriah atau 18 Maret 1891 Miladiah.
     Guru Tua, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan cinta ilmu pengetahuan, anak kedua dari pasangan Sayed Salim bin Alawy --seorang mufti di Hadramaut-- dengan Andi Syarifah Nur-- putri keturunan seorang raja di Sulawesi Selatan, yang bergelar Arung Matowa Wajo-- ini sarat dengan pengetahuan keagamaan.
Sejak muda, Guru Tua dikenal memiliki wawasan yang luas dan sudah menghafal Alquran. Beliau juga ahli di bidang Fikih. Karena terjadi pergolakan politik di negaranya ketika itu, akhirnya ia dibuang oleh Inggris dan disuruh meninggalkan Yaman Selatan. Karena kerinduannya pada daerah ibunya, akhirnya Habib Idrus bin Salim Al-Jufri memilih ke Batavia (Jakarta).
      Di Batavia-lah, pertama kali Habib Idrus bin Salim Al-Jufri memainkan perannya. Sejak saat itu, aktivitasnya pun terbilang cukup padat. Ia berpindah dari satu mimbar ke mimbar lainnya untuk mengajarkan agama kepada umat ketika itu. Tahun 1926, menjadi tahun penuh kesibukan Sang Guru Tua.
      Dari situ pula, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri berkenalan dan menjadi teman diskusi dengan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy'ari, di Jombang, Jawa Timur. Keduanya kerap kali terlibat dalam pembicaraan, bahkan perdebatan sekitar masalah agama, hingga upaya meningkatkan kualitas umat Islam melalui jalur pendidikan di pesantren.    
Tidak hanya itu. Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, melanjutkan lagi dakwah ke Solo, Jawa Tengah dan ia dipercaya membina madrasah Al-Rabithah Al-Alawiyah Cabang Solo. Selain sebagai pengajar, ia juga ditunjuk sebagai kepala sekolah tersebut. (Kini, lembaga pendidikan Al-Rabithah Al-Alawiyah berubah nama menjadi Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro). 
Habib Sagaf bin Muhammad bin Salim Al-Jufri, cucu Habib Idrus bin Salim Al-Jufrie--Ketua Utama Alkhairaat, mengatakan, saat itu, di Jawa sudah sangat banyak ulama dan habaib. Akhirnya, tahun 1929, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri kemudian memilih mengajarkan agama di kawasan timur Indonesia. Ia memulai perjalanan ke Ternate, Maluku Utara. Beberapa saat mengajar di daerah kesultanan Islam itu, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri kemudian memilih melanjutkan perjalanan lagi ke Donggala, Sulawesi Tengah.   
 Di Donggala ketika itu, masyarakat masih hidup dalam kepercayaan animisme dan dinamisme. Habib Idrus bin Salim Al-Jufri berpikir, ia harus mengajak umat di Donggala untuk memeluk Islam. Akhirnya, ia mendekati para tokoh masyarakat setempat, sampai akhirnya menikah dengan putri Donggala dari keturunan raja setempat. "Beberapa saat kemudian, Guru Tua menyampaikan keinginannya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam," kata Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Tengah ini.


Gagasan itu disambut positif para tokoh masyarakat. Maka berdirilah sebuah madrasah yang diberi nama Alkhairaat. Madrasah Alkhairaat yang pertama ini diresmikan pada 14 Muharram 1349 atau 1930 miladiyah. Dari situlah, cikal bakal berdirinya ribuan madrasah dan sekolah Alkhairaat di kawasan Timur Indonesia.
      Data dari Pengurus Besar Alkhairaat menyebutkan, saat ini telah berdiri 1.816 madrasah dan sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) serta Universitas Alkhairaat. "Semuanya tersebar dari Palu hingga Papua, dan pusatnya berada di Palu" kata Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri.
      Kini, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri telah tiada. Beliau telah wafat pada hari Senin 12 Syawal 1389 Hijriyah atau 22 Desember 1969. Sang Guru Tua hanya bisa meninggalkan karya besar yang tak bergerak bernama Yayasan Pendidikan Islam Alkhairaat dan karya bergerak, yaitu ratusan ribu santri dan alumni Alkhairaat. "Suatu ketika beliau ditanya soal karya berupa buku, beliau hanya menjawab, karya ku adalah Alkhairaat dan murid-muridku yang selalu mengajarkan agama kepada umat," kata Habib Idrus bin Salim Al-Jufri.

1.2 Rumusan Masalah
     Adapun rumusan permasalahan dalam pembuatan makalah ini ialah “Sejarah berdirinya alkhairaat”

1.2 Tujuan
      Tujuan pembuatan makalah ini ialah mengetahui sejarah berdrinya alkhairat.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Habib Idrus Bin Salim Al-Jufri

     Guru tua, begitu Beliau disapa. Beliau adalah Ulama Hadamaut yang hijrah ke Indonesia untuk menjaga benteng pertahanan akidah Islam di Sulawesi dari rongrongan ancaman Missionaris Kristen. Beliaulah pendiri Yayasan Alkhairaat, yang kini terdiri dari TK, SD, SMP,SMA, SMK,MI, MTS, MA hingga Universitas. Lembaga-lembaga pendidikan Islam Al-Khairaat berpusat di Kota Palu dan menyebar ke daerah sekitar, menjadikannya sebagai pintu gerbang dakwah Islam di Kawasan Timur Nusantara.
     Nasab Beliau adalah : Habib Idrus bin Salim bin Alwi bin Segaf bin Alwi bin Abdullah bin Husein bin Salim bin Idrus bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Abu Bakar Aljufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad Faqqqih Al-Muqaddam bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Ali AL-‘Uraidhi bin Jakfar As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Azzahrah binti Rasulullah shallahu alaihi wa sallam.
     Habib Idrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibu kota Seiwun, Hadramaut, pada 14 sya’ban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1881 M. Beliau mendapat pendidikan agama langsung dari ayah dan lingkungan keluarganya. Ayah beliau, Habib Salim adalah seorang qadhi (hakim) dan mufti (Ulama yang memiliki otoritas mutlak untuk memberi fatwa) di Kota Taris, Hadramaut. Sedangkan kakek Beliau, Al Habib Alwi bin Segaf Aljufri, adalah seorang ulama di masa itu. Beliau adalah salah satu dari lima orang ahli hukum di Hadramaut yang fatwa-fatwanya terkumpul dalam kitab Bulughul Musytarsyidin, karya Al-Imam Al-habib Abdurrahman Al-Masyhur.
     Tatkala Habib Idrus menginjak usia remedial, ayah Beliau Al-Habib Salim melihat bahwa kelak anak nya ini bisa menggantikannya. Beliaupun mendidik anaknya tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib Idrus kemudian mendalami berbagai Ilmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, Tauhid, Mantiq, ma’ani, bayan, badi’, nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra. Selain pada ayahnya, Habib Idrus juga belajar kepada Para Ulama dan Auliya’ di Hadramaut, diantaranya adalah : Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih, Al-Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar, Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi. Dan Al-Habib Abdullah bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim.   
     Kemudian pada tahun 1327 H. atau sekitar tahun 1909 M bersama sang ayah, Habib Idrus berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam datuknya Rasulullah salallahu alaihi wasallam di Madinah. Di sana mereka menetap selama enam bulan. Selama itu Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk mengajak putranya ini berziarah kepada para ulama dan Auliya’ yang berada di Hijaz pada masa itu, untuk memminta berkah, do’a serta ijazah dari mereka. Salah satunya kepada Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani di Makkah. Habib Salim kemudian membawa putranya kembali ke Hadramaut. Setelah itu beliau membawa Habib Idrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya Syarifah Nur Al-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib Idrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia. Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib Idrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Sebtibanya di Hadramaut, Habib Idrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau.
     Setelah itu Habib Idrus menikah dengan Syarifah Bahiyah, yang kemudian dikaruniai tiga orang anak: Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan. Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan 1906 M ayah beliau wafat. Dan pada tahun itu pula Habib Idrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun.
     Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan Inggris. Pada masa penjajahan Inggris itulah Habib Idrus bersama seorang sahabatnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah (keduanya dikenal sebgai ulama yang moderat) bermaksud ke Mesir untuk mempublikasikan kekjaman Inggris dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Inggris di Hadramaut. Setelah sesuatunya dipersiapkan dengan matang dan rapi, keduanya berangkat melalui Pelabuhan Aden. Namun di Pelabuhan Laut Merah itu rencana mereka diketahui oleh pasukan Inggris. Keduanya ditangkap, dokumennya disita dan dimusnahkan. Setelah ditanah beberapa waktu kemudian mereka dibebaskan dengan syarat, mereka tidak diperbolehkan bepergian ke negeri Arab manapun. Setelah kejadian itu Habib Abdurrahman memilih tinggal di Hadramaut, sedangkan Habib Idrus memilih hijrah ke Indonesia.
Pada tahun 1925 M Habib Idrus kembali untuk kedua kalinya ke Indonesia. Pada mulanya beliau tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana beliau menika dengan Syarifah Aminah Al-Jufri. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu’ dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu’ kemudian menikah dengan Sayyid Segaf bin Syekh Al-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr.Salim Segaf Al-Jufri, Duta besar Indonesia untuk Arab Saudi periode sekarang.
     Pada tahun 1926 M beliau pindah ke kota Jombang, disana beliau mengajar dan berdagang. Namun di penghujung tahun 1928 M karena seringkali mengalami kerugian dalam berdagang, Habib Idrus berhenti Berdagang dan memulai mengajar. Di tahun itu pula beliau pindah ke kota Solo. Pada tanggal 27 Desember 1928 bersama beberapa Habaib beliau mendirikan Madrasah Rabithah Alawiyah di kota Solo. Namun, pada akhir tahun 1929 M Habib Idrus meninggalkan kota Solo dan hijrah ke Sulawesi. Beliau kemudian berlayar menuju Manado. Ketika kapalnya singgah di Donggala, Habib Idrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams Al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.
Setibanya di Manado, Habib Idrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib Idrus yang akan mengusahakannya. Pada awal 1930 M Habib Idrus menuju kota Palu. Dan pada tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus prizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah Al-Khairaat di Kota Palu.
     Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh Habib Idrus. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Hal ini karena Habib Idrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya tidak memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus dalam belajar. Habib Idrus membrikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya berdagang.
     Habib Idrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil. Perguruan Al-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru Islam yang handal yang kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Keberadaan perguruan Al-Khairaat dan para santrinya telah berhasil membentengi kawasan Timur Indonesia dari para penginjil, yang waktu itu pada masa Hindia Belanda ada tiga organisasi yang bertugas mengkristenkan suku-suku terasing di Sulawesi Tengah. Mereka adalah Indische Kerk (IK) berpusat di Luwu, Nederlands Zending Genootschap (NZG) berpusat di Tentena, dan Leger Dois Hest (LDH) berpusat di Kalawara.
     Pada tanggal 11 Januari 1942 M Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan Al-Khairaat. Selama tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib Idrus tidak menyerah sedikitpun untuk mengajar para muridnya. Proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajarandialihkan ke desa Bayoge, yang berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan seadanya, para muridnya datang satu persatu secara sembunyi- sembunyi. Tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib Idrus kembali membuka perguruan Al-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur.
     Perguruan Alkhairaat kemudian mengembangkan sayapnya dengan membuka perguruan tinggi pada tahun 1964 M dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat dengan tiga fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Syariah. Dan Habib Idrus sebagai Rektor pertamanya. Ketika terjadi peristiwa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi Al-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah di daerah-daerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi Al-Khairaat dibuka kembali.
     Masih dalam suasana Idul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib Idrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari senin 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib Idrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di Liang lahat, muadzin di liang lahad, sampai yang membaca talqin di kubur.
     Habib Idrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah Al-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid Al-Khairaat meneybar di seluruh kawasna Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid belia yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang hijarh dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang. Ketika wafat, Habib Idrus telah mewariskan 25 cabang Alkhairaat dan ratusan sekolah, serta beberapa madrasah yang beliau dirikan kala hidupnya. Kini perguruan Besar Alkahiraat danYayasan Al-khairaat, dibentuk pula Wanita Islam Al-Khairaat dan Himpunan Pemuda Al-Khairaat.


2.2 Latar Belakang  Berdirinya Alkhairaat
Dengan berdirinya organisasi dan perkumpulan di Indonesia oleh bangsa Indonesia maka dijadikannya sebagai alat perjuangan untuk melawan penjajahan Belanda. Untuk melunakkan keinginan bangsa Indonesia dalam menuntut kemerdekaan, maka belanda membentuk satu badan yang bernama "Volkraad". Badan ini adalah suatu badan tempat berkumpulnya wakil rakyat dalam menyampaikan keluhan atau keinginan rakyat kepada pemerintah Hindia Belanda.
Sistem penjajahan yang dianut oleh belanda adalah menguasai dan memonopoli segala macam bentuk kebutuhan manusia. Akibatnya penindasan dan pemerasan terjadi dikalangan masyarakat. Karena keadaan dunia menjadi berubah sehingga sistem penjajahan belanda di Indonesia menjadi berubah dengan bentuk jalan membalas budi melalui pembangunan irigasi dan pendidikan. Tujuannya mendirikan kesejahteraan kepada rakyat didaerah jajahannya. Semua cara ini hanya sekedar membatasi gerakan rakyat Indonesia untuk tidak memberontak.
Di lembah palu khususnya telah mulai diterapkan usaha balas budi tersebut. Dibangunlah kebutuhan rakyat seperti, pembuatan jalan, membangun irigasi, membangun rumah sakit termasuk mendirikan sekolah.
Khusus dibidang pendidikan pemerintah belanda telah mendirikan sekolah-sekolah dipedalaman yang mengutamakan pendidikan umum dan sekolah yang melayani kebutuhan kaum nasrani. Belanda memberikan keizinan kepada Organisasi perserikatan Utusan Injil Belanda untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan Kristen seperti :

1.    Indesche Kerk (I.K) yang berpusat di Luwuk.
2.    Nederlands Zending Genootschap yang berpusat ditentena.
3.       Leger Dos Heist (LDH) atau Bala Keselamatan (BK) yang berpusat di Kalawara t
                  ercatat bahwa Bala Keselamatan mengadakan kegiatannya di Lembah Palu disekitar  
                  tahun  
          1914.
Melihat dan mengamati keadaan masyarakat di Lembah Palu yang mayoritas beragama Islam, maka perlu diadakan pembinaan secara khusus. Didorong oleh rasa tanggung jawab dan kewajiban akibat dari kondisi yang sangat menyedihkan, maka oleh Sayed Idrus bin Salim Aldjufri bertekad untuk mendirikan satu madrasah yang berasaskan Agama Islam. Karena yang banyak dilayani oleh Belanda adalah yang membantu kepentingan kaum penjajah.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa latar belakang sehinggga berdirinya madrasah Islam ini antara lain :
1.        Mayoritas penduduk di Lembah Palu telah lama memeluk agama Islam
2.      Belum adanya sekolah yang berasaskan agama Islam, sebagai tempat untuk menerima ilmu 
     keagamaan
3.       Para mubalig masih kurang, terutama yang memenuhi kebutuhan dalam memberikan ceramah dan da'wah serta penerangan kepada umat Islam khususnya dikalangan putera/puteri di Lembah Palu.
Dengan memiliki keyakinan dan tekad yang bulat, Sayed Idrus bin Salim Aldjufri berusaha mewujudkannya, untuk mendirikan "Madrasah Islamiyah" yang walaupun pemeritah belanda selalu mencurigainya sehingga madrasah ini selalu dalam pengawasan yang ketat.
Secara umum pada garis besarnya bahwa tujuan berdirinya perguruan Islam Alkhairaat adalah untuk "mencerdaskan umat manusia". Dengan melalui pendidikan inilah manusia bisa lepas dari kebodohan dan kemelaratan, sehingga kesejahteraan dan kebahagiaan akan diperoleh dan sekaligus akan terwujud masyarakat yang maju dan bertanggung jawab atas terlaksananya cita-cita bangsa.
Melalui pendidikan ini pulalah akan dapat dibentuk jiwa dan semangat keagamaan bagi setiap umat, sehingga perilaku setiap insan akan mewarnai kepribadiaannya yang sesuai ajaran Islam.

Perjalanannya ke Indonesia yang pertama kali ketika beliau berumur kurang lebih 17 tahun. Dan perjalanannya yang kedua di tahun 1922 terjadi akibat perjuangan politiknya untuk membebaskan negaranya dari penjajahan Inggris. Beliau bersama sahabatnya Habib    Abdurrahman bin Ubaidillah As-Saqqaf, keduanya merupakan tokoh agama dan wakil dari para ulama lain yang memelopori perjuangan kemerdekaan, mereka membenci penjajah dan konco-konconya serta suasana kacau yang berkembang di Hadramaut khususnya wilayah Arab sebelah Utara secara keseluruhan. Keduanya bersepakat untuk menyalakan api perlawanan terhadap penjajah dan konco-konconya dan mereka adalah orang yang pertama kali menghidupkan api tersebut.
     Mereka berpendapat bahwa berhubungan dengan Negara-negara Arab yang merdeka dan dunia luar adalah sesuatu yang amat penting untuk merubah keadaan di dalam negeri sekaligus memerdekakan negara secara total. Maka tugas politik yang sangat berbahaya itu di serahkan kepada Habib Idrus. Beliau memutuskan untuk keluar melalui pelabuhan Aden selanjutnya ke Yaman dan Mesir dengan tujuan untuk menjelaskan keadaan negerinya kepada masyarakat Arab dan dunia secara keseluruhan. Beliau mengetahui bahwa perbuatannya itu membahayakan jiwanya karena inteligen Negara dan mata-mata pemerintahan Inggris terus memperhatikan gerak-geriknya, akan tetapi perjalanan itu harus dilakukan.
     Setelah segala perlengkapan dan rancangan disiapkan dengan tepat dan matang serta penuh kehati-hatian tersebut hampir membuahkan hasil, jika tidak disebabkan oleh penghianat yang mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi membocorkan rahasianya. Setelah beliau sampai di bandara Aden, tiba-tiba beliau di tangkap kemudian dokumen-dokumen yang ada padanya dirampas serta mendapat larangan dari pemerintah Inggris untuk tidak keluar dari bandara Aden dengan tujuan ke Negeri Arab akan tetapi diizinkan untuk kembali ke Hadramaut atau pergi ke Asia Tenggara. Maka beliau memutuskan untuk pergi ke Indonesia.
     Beliau masuk ke Indonesia dan menetap di Pekalongan untuk beberapa waktu lamanya dan menikah dengan pasangan hidupnya Sy. Aminah binti Thalib Aljufri dan bersama menikmati pahit manisnya kehidupan. Ketika itu beliau berdagang kain batik tetapi tidak mendapat kemajuan karena cintanya kepada dunia pendidikan melebihi dari segala-galanya. Kemudian beliau meninggalkan perdagangan dan beliau pindah ke Solo, beliau dilantik sebagai Guru dan Kepala Sekolah di Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah. Setelah beberapa tahun beliau pindah ke Jombang dan tinggal beberapa lama di sana. Kemudian beliau memulai perjalanannya ke Timur Indonesia untuk memberi petunjuk dan berdakwah di jalan Allah hingga sampailah beliau di Palu yang kala itu bernama "Celebes" pada masa penjajahan Belanda.
     Setelah beliau masuk di negeri tersebut terlihat olehnya gerakan misionaris Kristen yang mendapat tempat dan pengikut yang banyak dari penduduk muslim yang awam. Karena kurang hidupnya dakwah islamiyah di negeri itu bahkan hampir tidak terdapat da'i Islam yang mengimbangi gerakan misionaris yang menentang Islam. Beliau memikul tanggung jawab ini dan masuk melaksanakan dakwah, menentang musuh-musuh, karena semangat Islam dan tanggungjawabnya yang pertama sebagai seorang muslim dan kedua sebagai seorang yang alim.
Al-Ustadz berpendapat bahwa sebaik-baik cara untuk menentang gerakan misionaris adalah sesuai dengan firman Allah : ("serulah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan peringatan yang baik serta berdialog (berdebatlah) dengan cara yang baik") dan juga dari sabda Nabi SAW : ("Mudahkanlah dan jangan menyusahkan, berilah kabar gembira dan jangan menakut-nakuti"). Dengan demikian cara penyebaran ilmu dan budaya Islam haruslah dengan jalan yang mudah dan cara yang bijak melalui pembukaan sekolah dan majlis Ta'lim untuk menghimpun anak-anak Islam.
     Bangunan sekolah yang pertama adalah di bangun atas biaya beliau sendiri di kota Palu yang sekarang menjadi Ibukota Sulteng salah satu wilayah yang terletak di Timur Indonesia, yang merupakan sekolah Islam yang pertama di Negeri Palu dan kemudian berkembang menjadi cabang-cabang mencapai ratusan madrasah tersebar di kota-kota dan kampong-kampung di bagian Timur Indonesia yang diberi nama "ALKHAIRAAT", dengan harapan optimis dan keberkatan dari nama tersebut yang banyak kali di sebut dalam Al-Qur'an dan secara resmi madrasah tersebut di buka pada tanggal 14 Muharram 1349 H bertepatan dengan 11 Juni 1930. dan pada peresmian itu di hadiri oleh para pemuka-pemuka Arab yang tinggal di Palu dan sebagian petinggi-petinggi negeri.
     Ustadz telah memertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai sarana ke kepulauan di sekitar Sulawesi dan Muluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam. Beliau berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan parahu sampan dengan bermacam resiko, tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat. Akan tetapi Ustadz yang dirahmati Allah selalu merasakan kenikmatan di antara pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski jiwanya sekalipun. Beliau tabah dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan lamanya. Dan kadang-kadang perjalanan itu di tempuh dengan berjalan kaki jika tidak mendapatkan alat-alat transportasi.
Akhir kata, semua perjuangan beliau terus dilakukannya hingga akhir hayat dengan tetap mengajar dan berdakwah di jalan Allah, walaupun harus mengorbankan semua yang berharga yang ada pada dirinya. Beliau berpulang pada 12 Syawal 1389 H bertepatan dengan tahun 1969 M, setelah beliau berikan bagi umat Islam suatu pelayanan demi pembelaannya terhadap Islam. Maka berhembuslah rohnya yang suci dan seolah-olah berkata :"79 tahun aku berjuang semasa hidupku dengan memuji Allah aku telah beramal. Lihatlah madrasah-madrasah yang ada di seluruh penjuru negeri menjadi saksi bahwasannya ucapan dan perbuatanku tidaklah sia-sia.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sebagai Lembaga Pendidikan Islam yang berusaha untuk membentuk insan-insan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, lembaga ini memikul beban tanggung jawab moral dan ide terhadap kehidupan dan perkembangan pendidikan Islam, demi kepentingan dan peningkatan kualitas umat.
Penciptaan manusia yang berkualitas akan melahirkan umat yang mampu menciptakan hubungan yang selaras antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan lingkungannya dan manusia dengan Khaliqnya.
Pendiri Alkhairaat menempatkan peranan dan program pendidikan pada urutan prioritas yang dianggap mampu memberikan nilai tambah terhadap peningkatan kualitas umat. Dan hal ini telah mejadi komitmen "abnaul Khairaat" (penerus) untuk melanjutkan amanah pendirinya.
Sesuai pula dengan cita-cita awal berdirinya, bahwa lembaga ini tidak hanya bergulat dibidang pendidikan secara khusus, namun telah berupaya memberikan dan sekaligus menanamkan misi keislaman yang hakiki melalui jalur dakwah serta usaha-usaha sosial lainnya, seperti pembinaan muallaf, suku terasing, dan lain-lain.
Hingga saat ini yayasan Alkhairaat telah mempunya 1.561 Madrasah/Sekolah dan 35 Pondok Pesantren Kesemuanya ini telah berhasil dibina oleh lembaga ini yang tersebar di 8 provinsi di Kawasan Timur Indonesia dan 2 Provinsi Indonesia Barat. Walaupun pada kenyataannya, lembaga ini dikelola secara swadaya dan swakelola, namun kehadirannya sudah merupakan asset bangsa khususnya bagi Kawasan Timur Indonesia. Lembaga terbesar merupakan sumber daya pendidikan yang sekaligus sebagai narasumber pembinaan ummat.


DAFTAR PUSTAKA
1.    Abdul Kadir, RA (2008) Mengenal Sosok Sayyid Idrus bin Salim Aljufri, Pendidik Agung Alkhairaat, Kultura – Jakarta
2.    M. Noor Sulaiman, PL (1989) Biografi Sayyid Idrus bin Salim Al jufri Pendiri Perguruan Islam Alkhairaat, Jakarta – Indonesia
3.    Rustam Arsyad, (T.Th) Tarikh Madrasah Alkhairaat Alislamiyah Faalu Sulawesil Wushtha (Donggala), Mulia – Surabaya.
4.    Sofyan B. Kambay (1991) Perguruan Islam Alkhairaat Dari Masa ke Masa, Palu – Sulawesi tengah
5.    http://jendelailmuanislam.blogspot.com/2010/11/alkhairaat.html
6.    http://alkhairaat-ternate.or.id/index.php/profile/sejarah-alkhairaat
7.    http://www.klinikhisab-rukyat.co.cc/2011/03/mengenal-sosok-sayyid-idrus-bin-salim.html
Close Menu