RESENSINOVEL LASKAR PELANGI
Judul Buku : Lascar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Negara : Indonesia
Bahasa : Indonesia
Genre : Roman
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tanggal Terbit : 2005
Halaman : Xxxiv, 529 Halaman
ISBN : ISBN 979 – 3062 – 79 – 7
Sinopsis
Diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri, buku “Laskar Pelangi” menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin Belitung. Anak orang-orang ‘kecil’ yang mencoba memperbaiki masa depan mereka.
SD Muhammadiyah (sekolah penulis ini), tampak begitu rapuh dan menyedihkan dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah ulayat mereka.
Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua, Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor.
Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras, sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.
Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas anak-anak kecil miskin itu.
Dari waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu memberi julukan kesebelas murid itu sebagai para Laskar Pelangi.
Keajaiban terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu laskar pelangi mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-sekolah PN dan sekolah-sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu digondol sekolah-sekolah PN.
Tak ayal, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah ketika Lintang, siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu harus berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga, sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia.
Belitong kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.
Meskipun awal tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri, tapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para laskar pelangi. Akhirnya kedua guru itu bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota laskar pelangi sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini, ada yang mendapatkan bea siswa international kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris.
Semua itu, buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di ujung paling Selatan Sumatera sana.
Banyak hal-hal inspiratif yang dimunculkan buku ini. Buku ini memberikan contoh dan membesarkan hati. Buku ini memperlihatkan bahwa di tangan seorang guru, kemiskinan dapat diubah menjadi kekuatan, keterbatasan bukanlah kendala untuk maju, dan pendidikan bermutu memiliki definisi dan dimensi yang sangat luas. Paling tidak laskar pelangi dan sekolah miskin Muhamaddiyah menunjukkan bahwa pendidikan yang hebat sama sekali tak berhubungan dengan fasilitas. Terakhir cerita laskar pelangi memberitahu kita bahwa bahwa guru benar-benar seorang pahlawan tanpa tanda jasa.
TOKOH DAN PENOKOHAN
Film Laskar Pelangi ternyata mampu menyedot penonton dalam jumlah yang sangat besar. Film beranggaran lebih dari Rp. 7 milyar ini memang sudah diprediksi akan sesukses novelnya. Menurut Mira Lesmana setelah rilis ini maka dalam rangka mengenalkan budaya Indonesia ke manca negara, film LP juga akan diikutsertakan dalam festival film internasional seperti Rotterdam International Film (Belanda) dan juga Cannes Film Festival (Perancis dan Korea). Keberhasilan film ini tidak lepas dari dukungan pemain muda belia penuh bakat anggota Laskar Pelangi. Siapa saja mereka dan apa komentar mereka terhadap film ini?
Trapani
Nama aslinya Suharyadi Syah Ramadhan, kelahiran Belitung 28 Februari 1995. Tokoh Trapani adalah sosok paling tampan dari seluruh anggota Laskar Pelangi. “Jujur, saya belum pernah baca novelnya. Cuma tahu dari cerita teman-teman,” kata siswa kelas 7 SMP Negeri III Tanjung Pandan ini. Ikut syuting pun, tak pernah terlintas di benaknya. Tetapi nasib berkata lain. Riri yang melihat potret Suharyadi, rupanya jatuh hati dan memintanya ikut casting di sekolahnya dan akhirnya dipilih untuk memerankan Trapani. Bukan cuma dia, ayah dan adiknya juga ketiban peran. Sang ayah berperan sebagai tukang pos, sementara adiknya sebagai Trapani kecil. Suharyadi dan keluarganya mengaku senang. “Selain banyak dapat teman baru, saya juga dapat uang,” katanya sambil senyum.
Syahdan
Di film LP, Muhamad Syukur Ramadan berperan sebagai Syahdan. Kelakuannya selama di lokasi syuting selalu mengundang gelak tawa. Siapa pun diajaknya bergurau. Hobinya yang lain adalah main bola dan membaca komik. “Saya suka sekali menggambar dan bercita-cita jadi arsitek.” Siswa SMP ini terkesan begitu menikmati pekerjaannya sebagai aktor. Wajahnya selalu gembira. Meski begitu, ia sempat kesulitan ketika harus beradegan menari bersama teman-temannya dalam acara karnaval di tengah kerumunan orang banyak. “Malu kalau jadi tontonan,” katanya. Tapi malunya hanya sesaat. Sejurus kemudian, ia sudah menari dengan asyiknya. ‘Saya sudah berniat akan main sebagusbagusnya untuk ibu saya yang belum lama ini meninggal.” Kali ini ia berkata dengan serius, tanpa canda.
Harun
Seperti dalam novel, pemeran Harun memang memiliki keterbelakangan mental. Yang memerankan adalah Jefry, siswa kelas 5 SLB Tanjung Pandan. Meski tak mudah mengajaknya berkomunikasi, begitu berhadapan dengan kamera, Jefry patut diacungi jempol. Ia mampu menuruti segala kemauan sang sutradara. Porsi dialog yang dibebankan padanya juga berbeda dengan pemeran lainnya. Ia lebih banyak dituntut bicara memakai bahasa tubuhnya. “Selama proses syuting, saya puas dengan aktingnya,” kata Riri.
Borek
Di antara anggota laskar, tubuh Borek digambarkan paling besar dan tinggi. Tak heran jika Febriansyah dipercaya memerankan tokoh yang disebutsebut sebagai Samson kecil oleh Ikal dan kawan-kawannya, seperti dalam novel. Meski masih berusia 13 tahun dan duduk di kelas 8 SMP Negeri II Tanjung Pandan, Febri terkesan lebih dewasa dibanding rekan-rekannya di film tersebut. Febri juga sangat terbuka dan mudah diajak bicara. Ia mengaku senang sekali bisa main di LP. “Sebelumnya, sih, tak pernah menyangka bakal jadi bintang film seperti sekarang. Apalagi, saya enggak punya bakat berakting. Pikiran saya cuma bersekolah supaya jadi orang sukses dan bisa cari duit sendiri”. Keinginannya itu datang lebih cepat dari dugaannya. Dari honornya sebagai pemeran Borek, “Saya bisa bayar uang sekolah dan mau beli komputer,” katanya dengan nada riang.
Kucai
Yogi Nugraha yang memerankan tokoh Kucai, termasuk tipe anak yang tak bisa diam. Ada saja ulahnya. Bahkan, satu ketika di sela istirahat syuting, ia berkelahi dengan pemeran lain gara-gara kejahilannya. Yogi yang lahir di Tanjung Pandan, 6 Juli 1994, mengaku menghapal mati semua dialognya. Apa kesannya main di LP? “Senang. Saya jadi bisa bantu orang tua membiayai sekolah,” kata bocah yang hobi main sepak bola itu. Tak takut pelajaran terganggu dan ketinggalan kelas? “Ah, naik atau tidak naik kelas, urusan belakangan,” jawabnya enteng.
Sahara
Di antara 10 anggota laskar, Sahara adalah satu-satunya perempuan dan diperankan oleh Dewi Ratih Ayu Safitri. Selama syuting, gadis pemalu ini senantiasa ditemani ibunya. Dewi lahir di Tanjung Pandan 7 Maret 1995 dan kini duduk di kelas 7 SMP Negeri 2 Tanjung Pandan. Hobinya menyanyi, menari, dan baca puisi. “Kalau besar nanti, saya mau jadi dokter,” katanya sambil tersipu. Ketika di awal-awal syuting, Dewi selalu diganggu teman-temannya. Bahkan sampai pernah menangis. Namun, suka-duka itulah yang membuat mereka jadi cepat akrab. Supaya tidak ketinggalan pelajaran, ibunya selalu mampir ke sekolah, meminta tugas ke guru Dewi untuk dipelajari saat jeda syuting. “Biasanya Ibu mencatat ulang mata pelajaran yang kutinggalkan, sehingga aku bisa ikut ujian tanpa kesulitan,” katanya.
Floriana
Floriana atau Flo, diperankan oleh Marchella El Jolla Kondo. Sehari-hari, gaya Marchella memang tomboy. Flo bukanlah bagian dari LP sehingga scene yang dimainkan tidak sebanyak teman-temannya. “Saat syuting dimulai, aku sudah kelar ujian. Sekarang lagi libur,” kata siswa kelas 6 SD Negeri IX Tanjung Pandan itu. Anak bungsu dari empat bersaudara ini lahir di Malaysia, 22 Mei 1996. Kedua orangtuanya berprofesi sebagai pendeta. “Sejak kecil saya selalu pindah tempat tinggal, ikut kemana orangtua bertugas,” kata gadis yang suka menyanyi dan bercita-cita jadi orang sukses. “Saya juga ingin jadi artis,” katanya malu-malu.
Akiong
Akiong adalah satu-satunya tokoh anak keturunan Hokian yang bersekolah di SD Muhammadiyah Gantung. Diperankan oleh Suhendri yang masih duduk di kelas 5 SD 44 Tanjung Pandan. Ia i terbilang paling muda di antara 10 pemeran LP lainnya. “Waktu awal-awal syuting, sata suka sakit perut,” katanya. Bahkan pernah, ia harus dilarikan ke klinik kesehatan terdekat karena kondisinya memburuk. Ternyata, Suhendri memang susah makan sehingga penyakit lambungnya kerap kumat. “Senang sekali ikut main film. Apalagi dapat uang,” kata Suhendri yang jago berakating dan menghapal dialog. Tak heran jika ia bercita-cita menjadi aktor profesional satu hari nanti.
A Ling
Aling adalah kekasih Ikal. Tokoh tersebut diperankan Levina yang mirip dengan Aling. Berambut panjang, berjari lentik, dan bermata sipit. Sama seperti Flo, adegan yang diperankannya tidak terlampau banyak. Bahkan, anak kedua dari tiga bersaudara kelahiran 26 Juni 1995 itu hanya menginap selama sehari dari 40 hari jadwal syuting. Levina yang duduk di kelas 7 SMP Regina Pacis, memiliki hobi menyanyi, baca, dan jalan-jalan. Kelak, ia ingin sekali seperti idolanya, Sandra Dewi, yang sukses menjadi bintang sinetron setelah merantau ke Jakarta.
Mahar
Mahar merupakan tokoh paling eksentrik dan digambarkan punya kecerdasan luar biasa dalam berkesenian. Apa saja yang disentuhnya, berubah jadi benda berestetika. Makanya, Bu Mus tidak segan-segan memercayakan setiap pagelaran kesenian kepadanya. Tokoh itu diperankan dengan apik oleh anak Gantung asli, Verrys Yamarno. Perilaku Verrys memang seperti Mahar. Tak pernah mau diam dan susah diatur. Ia juga kreatif membuat lelucon-lelucon yang mampu membuat orang terpingkal-pingkal. Verrys yang duduk di kelas 7 SMP Nasional Gantung, memiliki hobi berenang dan main bulutangkis. “Cita-citaku mau jadi ustaz, supaya bisa menyiarkan ajaran Islam ke banyak orang,” ujarnya.
Lintang
Pemeran tokoh Lintang ini cukup unik. Di novel, ia diceritakan sebagai teman sebangku ikal karena sama-sama berambut keriting. Namun di film, tokoh ini diperankan oleh anak berambut lurus bernama Ferdian. “Wah, saya malah enggak tahu kalau tokoh aslinya berambut keriting. Yang jelas, saya senang bisa ikut main di film ini. Tokohnya juga seru, menantang karena keberanian dan kecerdasannya.” Di kehidupan sehari-hari, kata Ferdia, dia tak seperti Lintang. “Prestasi saya biasa-biasa saja di sekolah.” Kendati begitu, produser Mira Lesmana punya alasan tersendiri. Ferdian dianggap bisa mewakili tokoh Lintang karena dinilai memiliki karakter yang sesuai. “Memang, faktor fisik sangat penting dalam film yang diadaptasi dari sebuah novel, tapi yang lebih penting lagi, bagaimana seseorang bisa menyelami karakter yang diperankannya,” kata Mira.
Ikal
Selama di lokasi syuting, dia dikenal paling pendiam. Zul Fanny, begitu nama aslinya, dianggap cocok memerankan Ikal. Sebelum ikut main film, Zul yang mengaku amat dekat dengan ayahnya, kerap membantu ayahnya berdagang di pasar. “Biasanya tiap hari Minggu,” cerita anak bermata cokelat itu. Kendati LP merupakan pengalaman pertamanya bermain film, Zul mengaku tak menemui kesulitan besar. Bahkan, dengan mudah, ia bisa menghapal setiap dialog yang panjang. Sayangnya, ia agak malas menggunakan waktu jeda untuk belajar. Alasannya selalu sakit kepala. Namun, ketika menghadapi ujian, ia mengaku bisa mengerjakannya. “Ujiannya gampang-gampang susah, sih,” kata Zul yang bercita-cita menjadi tentara.
Latar
Sebelum sempat membaca buku ini,saya sudah mendengar berbagai pujian dari beberapa teman yang telah membacanya. Bahkan guru jurnalistik saya pun mereferensikan untuk membaca buku ini. Saya semakin penasaran. Apa yang istimewa dari Laskar Pelangi??
Inilah buku yang menggambarkan sebuah potret pahit pendidikan di Indonesia. Pelajaran tentang semangat, perjuangan, dan kesabaran.
Laskar Pelangi mengisahkan kehidupan sebelas orang anak Melayu Belitong yang menuntut ilmu di sebuah sekolah yang berdiri dengan berbagai keterbatasan. Gedung sekolah mereka rapuh, doyong, dan menurut penulisnya, jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
Latar tempat dari novel ini adalah Pulau Belitong yang terletak di Timur Sumatra. Keadaan begitu kontras di Belitong. Daerah itu merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia yang menyumbangkan miliaran dolar devisa bagi negeri ini. Namun di sekeliling komplek perusahaan kaya tersebut, berserakan rumah-rumah penduduk Belitong yang bergelimang kesusahan dan kemiskinan, termasuk juga sebuah gedung sekolah yang amat menyedihkan tadi, SD-SMP Muhammadiyah, tempat berbagai kisah tergores dengan sempurna indahnya.
Novel ini memberikan banyak rasa. Kocak, bahagia, sedih, haru semua ada di sini. Kocak karena kepolosan khas anak-anak kecil. Bahagia karena berbagai kejutan dan keberhasilan yang dicapai oleh sebelas orang sahabat. Sedih melihat ketimpangan akses pendidikan.Dan haru karena perjuangan mereka, misalnya saja Lintang. Ia harus mengayuh sepeda 80 kilometer pulang pergi dari rumah ke sokolah. Belum lagi ia harus melewati rawa yang menjadi habitat para buaya ganas. Karena dihadang buaya, ia pernah terlambat sampai di sekolah dan hanya sempat ikut menyanyikan lagu Padamu Negeri di pelajaran terakhir. Setelah itu, ia kembali bersepeda untuk mencapai rumahnya nun jauh di sana.
Karena kisah dalam novel ini adalah pengalaman nyata penulisnya, maka tak heran jika deskripsi tokoh dan latar tempatnya begitu kuat. Penulisnya, Andrea Hirata, begitu detail menjelaskan sekolahnya, kampungnya, tokoh-tokohnya, dan lain sebagainya. Ia pun seringkali membuat analogi yang panjangnya sampai berlembar-lembar untuk sebuah perasaan yang sedang mendera para tokohnya. Bisa jadi hal ini adalah kekuatan dari novel Laskar Pelangi, namun di sisi lain bisa pula menjadi kelemahannya. Bagi sebagian orang, mungkin ada beberapa bagian dari buku ini yang terasa membosankan karena deskripsi yang terlalu detail tadi. Namun secara umum, Laskar Pelangi adalah novel yang sayang sekali untuk dilewatkan. Kisahnya begitu inspiratif, menggugah, tanpa kesan menggurui. Laskar Pelangi juga membuat kita bercermin dan peduli akan nasib pendidikan yang carut marut di negeri tercinta, Indonesia.
Kesimpulan
Dari novel yang di buat oleh Andre Hirata ini, saya dapat mengambilbeberapa pelajaran hidup yang penting, salah satunya kita harus benar-benar menghargai hidup, menghargai semua pemberian Tuhan, tidakpantang menyerah bila menginginkan sesuatu, dan tidak ada yang tidakmungkin asalkan kita mau dan berusaha. Dan satu lagi, pintar tidakmenjamin kita untuk selalu sukses, seperti cerita pada tokoh lintang, diaanak yang pintar, namun diakhir cerita dia menjadi seorang supir truk, disinisaya dapat mengambil kesimpulan, bahwa semua kehidupan manusia sudahada yang mengaturnya, yaitu Tuhan. Semua yang kita kerjakan tidak lepasdari campur tangan Tuhan.