BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia mempunyai asset nasional berupa pertanian lahan kering sekitar 111,4 juta ha atau 58,5% dari luas seluruh daratan (Notohadiprawiro, 1989). Pertanian lahan kering mempunyai kondisi fisik dan potensi lahan sangat beragam dengan kondisi sosial ekonomi petani umumnya kurang mampu dengan sumberdaya lahan pertanian terbatas. Selanjutnya Sudharto et al. (1995 dalam Syam et al. 1996) mengemukakan bahwa lahan kering merupakan sumberdaya pertanian terbesar ditinjau dari segi luasnya, namun profil usahatani pada agroekosistem ini sebahagian masih diwarnai oleh rendahnya produksi yang berkaitan erat dengan rendahnya produktivitas lahan. Di beberapa daerah telah terjadi degradasi lahan karena kurang cermatnya pengelolaan konvensional dan menyebabkan petani tidak mampu meningkatkan pendapatannya. Berdasarkan kendala-kendala tersebut, maka untuk menjamin produksi pertanian yang cukup tinggi secara berkelanjutan diperlukan suatu konsep yang aktual dan perencanaan yang tepat untuk memanfaatkan sumberdaya lahan khususnya lahan kering.
Lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Lahan ini memiliki kondisi agro-ekosistem yang beragam, umumnya berlereng dengan kondisi kemantapan lahan yang labil (peka terhadap erosi) terutama bila pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Untuk usaha pertanian lahan kering dapat dibagi dalam tiga jenis penggunaan lahan, yaitu lahan kering berbasis palawija (tegalan), lahan kering berbasis sayuran (dataran tinggi) dan pekarangan. Menurut Ford Foundation (1989), terdapat tiga permasalahan utama usahatani lahan kering, yaitu: erosi (terutama bila lahan miring dan tidak tertutup vegetasi secara rapat), kesuburan tanah (umumnya rendah sebagai akibat dari proses erosi yang berlanjut), dan ketersediaan air (sangat terbatas karena tergantung dari curah hujan). Ciri lainnya adalah makin menurunnya produktifitas lahan (leveling off), tingginya variabilitas kesuburan tanah dan macam spesies tanaman yang ditanam, memudarnya modal sosial-ekonomi dan budaya, rendah atau tidak optimalnya adopsi teknologi maju, serta terbatasnya ketersediaan modal dan infrastruktur yang tidak sebaik di daerah sawah.
Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang dirancang secara sistematis menggunakan akal sehat dan usaha keras yang berkesinambungan sehingga pertanian itu sangat poduktif secara terus menerus, merupakan habitat tenaga kerja yang baik untuk jumlah yang besar dan meupakan suatu usaha yang menguntungkan. Dengan demikian, pertanian semacam ini akan menghasilkan produksi pertanian yang cukup tinggi dan memberikan penghasilan yang layak bagi petani secara berkelanjutan, sehingga mereka dapat merancang masa depannya sendiri. Disamping itu, juga harus menghasilkan spektrum produksi yang luas sehingga dapat menyediakan bahan baku berbagai agroindustri dan produk-produk eksport secara lestari. Selanjutnya akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dengan pendapatan yang cukup tinggi, dengan demikian daerah pertanian ini akan menjadi penyerap hasil-hasil industri (Sinukaban, 1995).
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini ialah untuk mengatahui Penerapan Pertanian Organik Yang Berwawasan Lingkungan Dan Berkelanjutan Di Lahan Kering
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Tebas- Bakar Mengkritiskan Lahan Kering
Kawasan lahan pertanian cukup luas dan merupakan lumbung makanan bagi masyarakat tani yang mengandalkan hidupnya dari hasil pertanian. Dengan demikian perlu ditemukan sistem pertanian yang paling sesuai dan bersifat melestarikan sumber daya alam pertanian yang merupakan kekayaan yang dimiliki petani.
Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan mengingat sistem pertanian yang dilakukan di lahan kering sampai saat ini sebaian besar masih berupa tebas-bakar dan sudah mulai pada lahan yang tetap sama dari tahun ke tahun akibat semakin sempitnya lahan yang ada. Sistem tebas-bakar ini tidak begitu menjadi masalah apabila disertai dengan rotasi lahan dalam kurun waktu yang cukup lama (15 – 20 tahun). Namun kenyataan yang banyak dijumpai di Nusa Tenggara adalah lahan dibabat dan dibakar menjelang musim hujan setiap tahunnya tanpa metode pengawetan tanah, untuk ditanami jagung, padi ladang dll. . Kemiringan lahan yang cukup besar dengan curah hujan yang relatip banyak dan intensitas yang tinggi memperbesar timgkat erosi dn mempercepat terbentuknya tanah kritis.
Maka perlu dipikirkan dan ditemukan alternatip sistem pertanian lainnya yang dapat diterapkan dilahan miring untuk sumber pangan berupa palawija namun tetap mampu berproduksi tinggi dan lestari. Salah satu dari sekian banyak sistem yang ada yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini adalah pertanian organik.
2.2 Pengertian Pertanian Organik.
Menurut USDA Study Term on Organic Farming, pertanian organik dirangkum dalam pengertian sebagai berikut :
“Pertanian organik merupakan suatu sistem produksi yang menghindari atau sangat membatasi penggunaan pupuk kimia (pabrik), pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh dan adiktif pakan”.
Sampai tingkat maksimum yang dimungkinkan, sistem pertanian organik bersandar pada pergiliran tanaman, mendaur ulang sisa pertanaman, pupuk kandang atau kotoran ternak, legum, pupuk hijau, limbah organik dari luar usaha tani, kompos, penyiangan mekanik, batuan pengandung mineral dan aspek pengendalian hama secara biologis, untuk mempertahankan produktivitas dan kegemburan tanah, untuk memasok hara tanaman, dan untuk mengendalikan hama, gulma dan jasad merugikan lainnya (Yougberg & Dittel, 1984 dalam Rachman Sutanto, 1991).
Dari pengertian diatas maka ynag dimaksud pertanian organik bukan berarti bertani yang masih primitip maupun ketinggalan jaman (tradisional) dan anti teknologi masukan tinggi seperti pupuk buatan maupun pestisida buatan, melainkan merupakan cara bertani yang berusaha menyelaraskan hubungan antara manusia dan lingkungan sehingga kerusakan yang mungkin terjadi pada lingkungan pertanian akibat penggunaan teknologi masukan tinggi dapat ditekan atau bahkan ditiadakan. Dalam pengertian ini maka manusia harus menyadari secara mendalam bahwa dirinya merupakan bagian dari alam sehingga kerusakan yang terjadi pada alam pertanian dengan sendirinya akan merusak dan mengancam kehidupan manusia. Pandangan yang utuh dan integral semacam ini sebenarnya sudah ada dalam masyarakat tani pedesaan, hanya saja mereka seringkali belum dapat menjelaskan secara nalar sehingga sering dijumpai dalam bentuk mitos maupun yang berbentuk mistik.
2.3 Pengenalan Dan Penerapan Pertanian Organik Di Lahan Kering.
Dilapangan sering kita jumpai benturan kepentingan antara pembuat program, petugas lapangan pertanian (PPL) dengan para petani. Pada umumnya benturan terjadi karena adanya kesenjangan dalm hal pendapat, cara berpikir, pengetahuan, teknologi yang dikuasai maupun status sosial dsb.
Sebagai contoh kasus pertama kesenjangan tersebut adalah pengenalan pupuk buatan pada petani didaerah pedesaan sering berjalan kurang mulus dan terjadi penolakan karena belum dikenalkan dengan pupuk tersebut dan belum tahu kegunaan maupun karena kurangnya informasi dari luar. Dalam kasus ini para pembuat program maupun PPL beranggapan bahwa kemajuan pertanian hanya dapat dicapai jika petani mau memakai pupuk buatan,. Dan sering terjadi penerapan penggunaan pupuk buatan oleh petani merupakan target kerja yang harus tercapai untuk meunjukkan prestasi kerja dan peningkatan karir. Sementara para petani yang kebanyakan berpendidikan rendah kurang cepat menerima penjelasan tentang cara-cara dan keuntungan penggunaan pupuk buatan. Maka jika program pemakaian pupuk buatan dipaksakan, mungkin akan terjadi pupuk buatan yang berharga hanya disimpan atau bahkan dibuang begitu saja.
Dari kasus diatas kita dapat belajar bahwa tidak semua program pertanian yang berupa paket teknologi dapat diaplikasi oleh semua petani. Sebagai pembuat program dan PPL maka harus secepatnya mencari jalan tengah penyelesaian masalah tersebut.
Penggunaan pupuk alam baik pupuk kandang atau kotoran ternak, pupuk hijau, legum maupun limbah organik yang dikomposkan dapat menjadi alternatip penyelesaian masalah ini.
Keuntungan dari penggunaan pupuk alam ini sangat besar antara lain :
• Para petani sederhana dapat memanfaatkan potensi lokal yang ada disekitarnya baik berupa kotoran ternak, legum, humus, rumput-rumputan dari gulma dsb.
• Mengurangi tingkat pencemaran dari limbah rumah tangga dan meningkatkan kesehatan lingkungan karena semua sampah dikomposkan.
• Mampu menekan ongkos produksi (efisiensi) karena tidak perlu membeli pupuk buatan serta mengurangi ketergantungan dari pihak luar (pabrik pupuk, penyalur/KUD dsb).
• Pupuk alam mempunyai kelebihan dalam hal menyimpan lengas tanah sehingga melindungi terhadap kekeringan, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan unsur hara makro dan mikro, mengurangi erosi, mengatur pH, menambah kandungan mikroorganisme yang emmbantu proses biologis tanah dsb.
• Para petani tertarik utnuk melaksanakan hutan-tani (Agroforestry) yakni suatu sistem produksi biologi yang dengan sengaja menggabungkan pohon dan ternak dengan pertanaman, ternak, atau faktor produksi pertanian lainnya seperti perkebunan, tanaman buah-buahan dsb. Pupuk hijau didapat dengan menanam tanaman legume yang sekaligus dapat berfungsi menahan erosi seperti kaliandra, gamal, turi, lamtoro dsb. Pupuk kandang didapatkan dari hasil kotoran ternak, sedangkan kompos didapat dari sisa pangkasan/cabutan gulma dengan kotoran segar.
Memang dalam pelaksanaan tidak begitu mudah, karena ada anggapan bahwa petani yang menerapkan pertanian organik adalah petani yang anti pupuk buatan, bahkan mungkin dapat pula dituding anti pembangunan. Ada pula yang berpendapat bahwa penggunaan pupuk alam sudah ketinggalan jaman, tidak modern dsb, padahal dibalik pernyataan tersebut mungkin timbul kekhawatiran pendapatan/ keuntungan ditingkat pengecer pupuk, KUD bahkan menyangkut kelangsungan hidup pabrik pembuat pupuk buatan.
Dan jika hal ini terjadi, maka seharusnya pihak petani yang harus dilindungi, dibela dan jangan disudutkan untuk dipaksa menggunakan pupuk buatan. Petani diberi kebebasan untuk mengelola lahan sesuai dengan prinsip yang dianutnya. Campur tangan yang terlalu banyak kedalam hidup petani jika tidak hati-hati akan sangat merugikan petani dan hal ini bertentangan dengan tujuan pembangunan pertanian yakni peningkatan taraf hidup petani dan keluarganya.
Contoh kasus yang kedua adalah pengenalan dan penggunaan pestisida buatan/ pabrik pada masyarakat tani yang masih sederhana akan dapat menimbulkan masalah jika kurang hati-hati dalam pelaksanaannya. Kita tidak dapat mengingkari bahwa pestisida buatan sangat membantu dan menimbulkan manfaat yang luas terhadap kehidupan manusia apabila dugunakan secara bijaksana. Penggunaan pestisida yang sembarangan dan tidak menuruti aturan akan berdampak negatip yang meluas, merugikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi kelangsungan hidup manusia. Harus disadari bahwa bagaimanapun hebat manfaat pestisida, kita tidak boleh lupa pestisida tetap mempunyai sifat meracun dan mempunyai daya bunuh yang tidak selektip, artinya selain selain membunuh organisme yang ditargetkan (misal wereng), namun juga akan membunuh organisme lainnya yang bukan sasaran (misal lebah madu), predator dll. Dampak negatip lainnya adalah kemungkinan terjadinya peledakan hama kembali., dan didapatkannya residu pestisida dalam berbagai komoditi pertanian dan berbagai kompoenn lingkungan (Nani Djuangsih, 1990).
Dalam menghadapi masalah ini, pembuat program dan PPL harus bijak untuk menilai apakah masyarakat tani binaannya sudah dapat dan mampu mengelola dan menggunakan pestisida pabrik dengan baik atau belum. Jika belum, maka dapat dicari jalan untuk mengatasi hama dn penyakit dengan pengendalian cara lain yang lebih aman tanpa harus memaksa petani menggunakan pestisida pabrik yang beresiko cukup tinggi. Program Pengendalian Hama terpadu (PHT) yang sedang digalakkan pemerintah secara jelas menyatakan bahwa pestisida pabruik merupakan alternatip terakhir apabila cara pengendalian lain sudah tidak mampu lagi.
Pengendalian secara mekanis, fisis, budidaya, hayati, tanaman tahan sebaiknya dikenalkan lebih dulu kepada petani dan tidak menggunakan jalan pintas untuk langsung mengenalkan pestisida pabrik pada petani. Jadi usaha yang dilakukan pemerintah sekarang ini menuju ke pertanian lestari.
Dari kedua contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
Perlu adanya kehati-hatian dalam mengenalkan paket bantuan teknologi tinggi seperti pupuk buatan, pestisida pabrik dll pada petani sederhana di Nusa Tenggara.
Pertanian organik sangat relevan utnuk diterapkan dilahan kering Nusa Tenggara mengingat keuntungan yang diperoleh petani dan ketidaktergantungan petani pada pihak luar sehingga kenaikan harga saprotan tidak meresahkan petani kecil..
Pertanian organik untuk pengembangannya dapat diarahkan menuju Wana-tani (Agroforestry)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keadaan geografis alam Indonesia yang sebagian besar lahan pertanian yang sebagian lahan kering berupa pegunungan serta kondisi perekonomian masyarakat tani yang cenderung masih subsisten merupakan kendala bagi penerapan teknologi tinggi dan sebaiknya komsep pembangunan pertanian lebih diarahkan “kembali ke alam” memanfaatkan potensi lokal yang tersedia serta lebih menjamin kearah pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yakni konsep pertanian organik yang mengarah ke hutan tani. Konsep pertanian organik sudah lebih dikenal dan tidak asing lagi bagi masyarakat tani kecil.
3.2 Saran
Semoga kita menyadari bahwa alam hanyalah titipan dari anak cucu kita yang harus dijaga kelestariannya sehingga kita tidak mewariskan masalah yang besar karena kesalahan dan keserakahan yang kita perbuat.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://adikarsa.wordpress.com/2008/07/11/penerapan-pertanian-organik-yang-berwawasan-lingkungan-dan-berkelanjutan-di-lahan-kering/
2. http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/06/pembangunan-pertanian-lahan-kering.html
3. http://lppm.ums.ac.id/index.php/berita-kegiatan/188-optimalisasi-lahan-kering-di-indonesia
Sumber: Tugas Kuliah di Universitasl Alkhairaat Palu