1.1 Latar Belakang
Penurunan produksi bahan pangan nasional yang dirasakan saat ini lebih disebabkan oleh semakin sempitnya luas lahan pertanian yang produktif (terutama di pulau Jawa) sebagai akibat alih fungsi seperti konversi lahan sawah, ditambah isu global tentang meningkatnya degradasi lahan (di negara berkembang). Salah satu alternatif pilihan yang diharapkan dapat meningkatkan potensi produksi tanaman dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan adalah pendayagunaan lahan kering. Selain karena memang tersedia cukup luas, sebagian dari lahan kering belum diusahakan secara optimal sehingga memungkinkan peluang dalam pengembangannya.
Secara umum sistem pertanian di Indonesia, khususnya yang menyangkut budidaya pertanian tanaman pangan dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu pertanian lahan basah/ sawah dan pertanian lahan kering. Seperti diketahui, pembangunan pertanian di Indonesia selama ini terfokus pada peningkatan produksi pangan, terutama beras, sehingga sebagian besar dana dan daya telah dialokasikan untuk program-program seperti intensifikasi, jaringan-jaringan pengairan dan pencetakan sawah.
Sebaliknya, ciri usahatani bukan sawah ternyata telah menyebabkan kurang diprioritaskannya pertanian lahan kering di dalam proses peningkatan produksi pangan. Namun, dengan semakin meningkatnya alih fungsi lahan, disinyalir peluang penggunaan lahan sawah untuk usaha pertanian makin hari makin menyempit sehingga pengalihan usaha ke lahan kering makin terasa diperlukan.
Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. Untuk memudahkan pengutaraan dalam penyajian ini, yang dimaksud lahan kering adalah lahan atasan, karena kebanyakan lahan kering berada di lahan atasan. Belakangan ini pengertian yang tersirat dalam istilah lahan kering yang digunakan masyarakat umum banyak mengarah kepada lahan kering dengan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap.
Ditinjau dari segi luasannya, potensi lahan kering di Indonesia tergolong tinggi dan masih perlu mendapat perhatian yang lebih bagi pengembangannya, namun apabila ditinjau dari sifat/ karakteristik lahan kering seperti diuraikan tersebut di atas, sangat diperlukan beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas yang menjadi kendala dalam pengembangannya.
Lahan kering di Indonesia cukup luas, dengan taksiran sekitar 60,7 juta hektar atau 88,6% dari luas lahan, sedangkan luas lahan sawah hanya 7,8 juta hektar atau 11,4% dari luas lahan, sebagian besar banyak tersebar pada dataran rendah yakni hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m dpl (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl.(39,35%) dari total luasan lahan kering di Indonesia. Data terbaru, menyebutkan Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan.
Namun demikian, pertanian lahan kering dapat dikatakan tidak produktif. Petani adalah subyek yang paling merasakan dampak dari ketidakproduktifan lahan. Untuk mewujudkan pertanian di daerah lahan marginal, maka diperlukan meode sistem pertanian berkelanjutan di lahan kering terutama bagian hulu (up land), maka diperlukan sistem penggunaan lahan konservatif dan produktif secaraterus menerus, tidak hanya terhadap tanah tetapi juga secara keseluruhan dari sumberdayaalam, termasuk air, hutan, dan daerah pengembalaan.
Untuk mencoba mengkaji peluang dengan melihat sifat/ karakteristik dan potensi dari lahan kering dalam pengembangannya untuk pertanian tanaman pangan khususnya padi gogo, maka dibuatlah makalah mengenai penerapan sistem pertanian berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan marginal dan lahan kering untuk menanam varieas padi gogo.
1.2 Tujuan
Mengetahui penerapan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan marginal untuk penanaman padi gogo.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan Marginal
Sumber daya lahan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu sistem usaha pertanian, karena hampir semua usaha pertanian berbasis pada sumber daya lahan. Lahan adalah suatu wilayah daratan dengan ciri mencakup semua watak yang melekat pada atmosfer, tanah, geologi, timbulan, hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun yang bersifat mendaur, serta kegiatan manusia di atasnya. Jadi, lahan mempunyai ciri alami dan budaya.
Lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu. Sebenarnya faktor pembatas tersebut dapat diatasi dengan masukan, atau biaya yang harus dibelanjakan. Tanpa masukan yang berarti budidaya pertanian di lahan marginal tidak akan memberikan keuntungan. Ketertinggalan pembangunan pertanian di daerah marginal hampir dijumpai di semua sektor, baik biofisik, infrastruktur, kelembagaan usahatani maupun akses informasi untuk petani miskin yang kurang mendapat perhatian.
2.1.1 Sebaran Lahan Marginal di Indonesia
Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering kering berupa tanah Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, secara umum termasuk lahan marginal. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, prospeknya baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya.
2.1.2 Kesuburan Lahan Marginal
Tanah marginal atau “suboptimal” merupakan tanah yang potensial untuk pertanian, baik untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan maupun tanaman hutan. Secara alami, kesuburan tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh reaksi tanah yang masam, cadangan hara rendah, basa-basa dapat tukar dan kejenuhan basa rendah, sedangkan kejenuhan aluminium tinggi sampai sangat tinggi. Namun, penilaian produktivitas suatu lahan bukan hanya berdasarkan kesuburan alami (natural fertility), tetapi juga respons tanah dan tanaman terhadap aplikasi teknologi pengelolaan lahan yang diterapkan. Melalui perbaikan teknologi pengelolaanlahan, produktivitas suatu lahan dapat ditingkatkan secara signifikan dibandingkan dengan kondisi kesuburan tanahnya yang secara alami rendah. Namun, dalam beberapa decade terakhir, penilaian kesuburan tanah justru didasarkan pada kesuburan alami (natural fertility). Dalam kegiatan survei dan pemetaan tanah pada awal tahun 1960-an yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian Tanah, yang sekarang berubah nama menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), penilaian kelas kemampuan wilayah hanya didasarkan pada kualitas atau karakteristik tanah secara alami (virgin soil). Namun, sejak tahun 1970-an, penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dari dua arah, yaitu berdasarkan kondisi teknologi yang diterapkan saat ini (actual suitability) dan kondisi teknologi dengan perbaikan disesuaikan dengan kualitas dan karakteristik lahannya (potential suitability).
2.1.3 Contoh Lahan Marginal
Memanfaatkan lahan marjinal bukan hal yang tidak mungkin dilakukan. Lahan marjinal memang memiliki faktor pembatas yang besar untuk pertumbuhan tanaman yang oiptimal. Diantara faktor yang menyebabkan tanaman tidak bisa tumbuh dengan optimal yaitu dari segi fisik tanah, kimia tanah, maupun biologi tanah. Beberapa contoh lahan yang tergolong kedalam lahan marginal yaitu : tanah gambut, lahan bekas tambang, lahan kering, lahan pasir, lahan dekat pantai, dan gurun.
2.2 Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan atau pembangunan pertanian berkelanjutan pertama kali menjadi pembicaraan dunia pada tahun 1987, tahun 1992 diterima sebagai agenda politik oleh semua negara di dunia sebagaimana dikemukakan dalam Agenda 21, Rio de Jeneiro. Dalam pertemuan tersebut ditegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangka panjang dapat dilakukan bila dikaitkan dengan masalah perlindungan lingkungan. Pertemuan Johanesberg, Afrika Selatan (2-4 September 2002) yang merupakan pertemuan puncak Pembangunan Berkelanjutan (”World Summit On Sustainable Development”) menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan pandangan dan penanganan jangka panjang dengan partisipasi penuh semua pihak. Secara jelas dinyatakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang. Di bidang pertanian diterapkan dengan pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan atau berwawasan lingkungan, yang dalam pelaksanaannya sudah termasuk aspek pertanian organik.
Di Indonesia, konseptual pertanian berkelanjutan tercantum pada UU no. 12 tahun 1992. Akan tetapi pengertian pertanian berkelanjutan masih belum begitu jelas secara implementas. Namun secara umum, prinsip dari pertanian berkelanjutan adalah praktek pertanian yang menggunakan prinsip dasar ekologi serta ilmu tentang hubungan antara organisme dengan lingkungannya. Hal ini sama dengan penjelasan dari Wikipedia bahwa Sustainable agriculture is the practice of farming using principles of ecology, the study of relationships between organisms and their environment.
Pertanian berkelanjutan juga telah didefinisikan sebagai sistem pertanian yang terintegrasi dari praktek produksi tumbuhan dan hewan yang secara spesifik akan bertahan dalam waktu yang lama.
Aspek aspek pertanian berkelanjutan menurut Wikipedia salah satunya adalah Meningkatkan kualitas lingkungan dan sumber daya alam dengan mengacu kepada kebutuhan ekonomi pertanian.
Disebut sebagai pertanian berkelanjutan menurut karena dalam pertanian tersebut memiliki kegiatan yang secara ekonomis, ekologis, dan sosial bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, dan penggunaan sumberdaya serta lnvestasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan termaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, mernelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity). Sementara itu, keberlanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pernbangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pernbangunan, mobilitas. sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pernberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembang an kelembagaan.
2.3 Padi Gogo
Varietas unggul padi gogo telah dilepas sejak tahun 1960-1994. Varietas Danau Atas, Danau Tempe dan Laut Tawar merupakan varietas yang cocok dibudidayakan pada lahan podsolik merah kuning. Varietas Gajah Mungkur dan Kalimutu yang dilepas tahun 1994 cocok dikembangkan pada lahan-lahan kering yang tersebar di kawasan Nusa Tenggara.
2.3.4 Syarat Pertumbuhan
Pada dasarnya dalam budidaya tanaman, pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang paling penting adalah tanah dan iklim serta interaksi kedua faktor tersebut. Tanaman padi gogo dapat tumbuh pada berbagai agroekologi dan jenis tanah. Sedangkan persyaratan utama untuk tanaman padi gogo adalah kondisi tanah dan iklim yang sesuai. Faktor iklim terutama curah hujan merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan budidaya padi gogo. Hal ini disebabkan kebutuhan air untuk padi gogo hanya mengandalkan curah hujan.
1. Iklim
Padi gogo memerlukan air sepanjang pertumbuhannya dan kebutuhan air tersebut hanya mengandalkan curah hujan. Tanaman dapat tumbuh pada derah mulai dari daratan rendah sampai daratan tinggi. Tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 450 LU sampai 450 LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan selama 3 bulan berturut-turut atau 1500-2000 mm/tahun. Padi dapat ditanam di musim kemarau atau hujan. Pada musim kemarau produksi meningkat asalkan air irigasi selalu tersedia. Di musim hujan, walaupun air melimpah prduksi dapat menurun karena penyerbukankurang intensif. Di dataran rendah padi memerlukan ketinggian 0-650 m dpl dengan temperature 22-27 derajat C sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan temperature 19-23 derajat C. Tanaman padi memerlukan penyinaram matahari penuh tanpa naungan. Di Indonesia memiliki panjang radiasi matahari ± 12 jam sehari dengan intensitas radiasi 350 cal/cm2/hari pada musim penghujan. Intensitas radiasi ini tergolong rendah jika dibandinkan dengan daerah sub tropis yang dapat mencapai 550 cal/cm2/hari. Angin berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan tetapi jika terlalu kencang akan merobohkan tanaman.
2. Tanah
Padi gogo harus dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, sehingga jenis tanah tidak begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo. Sedangkan yang lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil adalah sifat fisik, kimia dan biologi tanah atau dengan kata lain kesuburannya. Untuk pertumbuhan tanaman yang baik diperlukan keseimbangan perbandingan penyusun tanah yaitu 45% bagian mineral, 5% bahan organik, 25% bagian air, dan 25% bagian udara, pada lapisan tanah setebal 0 – 30 cm.
Struktur tanah yang cocok untuk tanaman padi gogo ialah struktur tanah yang remah. Tanah yang cocok bervariasi mulai dari yang berliat, berdebu halus, berlempung halus sampai tanah kasar dan air yang tersedia diperlukan cukup banyak. Sebaiknya tanah tidak berbatu, jika ada harus < 50%. Keasaman (pH) tanah bervariasi dari 5,5 sampai 8,0. Pada pH tanah yang lebih rendah pada umumnya dijumpai gangguan kekahatan unsur P, keracunan Fe dan Al. Sedangkan bila pH lebih besar dari 8,0 dapat mengalami kekahatan Zn.
III. METODOLOGI
3.1. Lokasi
Data dan informasi dalam makalah ini diperoleh melalui penelusuran melalui internet dan studi pustaka. Akses internet dan studi pustaka dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas Jember dan Perpustakaan Pusat Universitas Jember
3.2 Waktu
Makalah ini disusun mulai tanggal 23 sampai 25 Oktober 2012 untuk diajukan tugas mata kuliah Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan.
3.3 Metode Penulisan
Makalah ini disusun dari data dan informasi berupa kajian putaka, terutama yang berkaitan dengan lahan marginal, pengertian sistem pertanian berkelanjutan, dan informasi mengenai padi gogo.
IV. PEMBAHASAN
4.1 Budidaya Padi Gogo Lahan Marginal
4.1.1 Varietas Padi Gogo
Sejak pertama kali diperkenalkan tahun 1960, varietas padi gogo telah berkembang beberapa macam. Masing-masing varietas memiliki keunggulan dan sifat yang berbeda beda. Hal tersebut dapat diperlihatkan dalam tabel berikut:
No Varietas Tahun Pepasan Umur (hari) Kisaran Hasil (t/ha) Rasa Nasi Ketahanan/ Toleransi
1 Danau Tempe 1991 135 3-5 Pera B
2 Situ Gintung 1992 140 2-3,5 Pulen B, BB, WC2
3 Gajah Mungkur 1994 95 2,5 Sedang KrFe
4 Kalimutu 1994 95 2,5 Sedang KrFe
5 Way Rarem 1994 105 3-4 Pera B, KrAl, Fe
6 Jatiluhur 1994 115 2,5-3,5 Pera B, Ngn
7 Cirata 1996 120 3-5 Pulen B
8 Towuti 1999 120 3-5/5-7 Pulen B, HDB,WC23
9 Limboto 1999 105 3-5 Sedang KrAl
10 Danau Gaung 2001 113 3-4 Sedang B, KrAl&Fe,BDC
11 Batu Tegi 2001 116 3 Pulen B,BDC, KrAl
12 Situ Patenggang 2002 115 3,6-5,6 Sedang B, Ngn
13 Situ Bagendit 2002 115 3-5/5-6 Pulen B, HDB
Tabel: Varietas dan Kualitas Padi Gogo
Sumber: (Alfon dan Hurtuel. 2010)
4.1.2 Sebaran Lahan Tanam Padi Gogo di Indonesia
Di Indonesia, sebaran tanam padi gogo berada pada tiap provinsi. Luasan lahan yang ditanami padi gogo saat ini adalah 1,12 juta ha dan tersebar pada berbagai provinsi.Pada saat ini, pertanaman terluas terdapat pada Pulau Jawa, diikuti kalimantan, Sumatra dan lainya. Namun demikian, Produksi total terbesar untuk tanaman padi gogo terdapat pada Pulau Jawa dengan lebih dari 1 juta ton pada tahun 2004. Untuk lebih jelasnya, data tersebut tertuang dalam tabel berikut :
Pulau Tahun
2000 2001 2002 2003 2004
Sumatera
Luaspanen (ha) 392.625 331.901 299.006 319.629 301.367
Produksi total (ton) 885.858 760.604 684.128 759.193 730.936
Produktivitas (t/ha) 2,256 2,293 2,288 2,375 2,425
Jawa
Luas panen (ha) 363.902 362.023 344.850 355.459 357.333
Produksi total (ton) 1.000.952 1.029.927 992.018 1.097.810 1.202.061
Produktivitas (t/ha) 2,751 2,845 2,877 3,088 3,081
Bali dan Nusa Tenggah
Luas Panen (ha) 113.400 91.726 93.942 100.038 115.174
Produksi Total (ton) 228.107 181.791 201.442 220.101 261.208
Produktivitas (t/ha) 2,012 1,982 2,144 2,200 2,268
Kalimantan
Luas Panen (ha) 253.626 254.228 290.963 281.876 302.971
Produksi Total (ton) 462.950 504.731 632.945 601.057 687.066
Produktivitas (t/ha) 1,825 1,985 2,175 2,132 2,268
Sulawesi
Luas Panen (ha) 40.087 26.719 29.119 28.736 32.368
Produksi Total (ton) 86.598 62.254 65.087 69.092 78.055
Produktivitas (t/ha) 2,210 2,168 2,235 2,161 2,411
Maluku dan Irian Jaya
Luas Panen (ha) 12,205 12.025 6.308 7.785 6,707
Produksi Total (ton) 25.186 25963 15.009 19.225 21.495
Produktivitas (t/ha) 2,064 2,159 2,379 2,469 2,469
Indonesia
Luas Panen (ha) 1.175.875 1.080.622 1.064.187 1.093.518 1.117.620
Produksi Total (ton) 2.691.651 2.565.270 2.590.629 2.759.476 2.879.821
Produktivitas (t/ha) 2,289 2,374 2,434 2,523 2,576
Tabel: Luas Panen, Produksi Total dan Produksi Tiap Hektar Padi Gogo Selama 5 Tahun.
Sumber: Balai Penelitian Tanaman Padi. 2005
4.1.3 Produktivitas Padi Gogo di Indonesia
Produksi padi gogo nasional baru mencapai 2,88 juta ton atau baru sekitar 5 % dari produksi padi nasional. Tingkat hasil padi gogo perhektar baru mencapai 2,58 ton/hektar atau hanya sekitar 45% dari produksi padi irigasi.
4.1.5 Teknik Budidaya Padi Gogo
4.1.5.1 Pemilihan Varietas
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan varietas padi gogo untuk diusahakan di suatu daerah antara lain adalah;
Kesesuaiannya terhadap lingkungan tumbuh (ketinggian tempat, iklim),
Umur tanaman yang erat kaitannya dengan curah hujan yang ada dan pola tanam,
Ketahanan terhadap hama dan penyakit,
Produktivitas.
Sedangkan syarat benih yang baik untuk budidaya tanaman padi gogo secara umum adalah sebagai berikut:
Tidak mengandung gabah hampa, potongan jerami, kerikil, tanah dan hama gudang.
Warna gabah sesuai aslinya dan cerah.
Bentuk gabah tidak berubah dan sesuai aslinya.
Daya perkecambahan >80%.
4.1.5.2 Pengolahan Lahan
Pengolahan tanah untuk pertanaman padi gogo dimulai sebelum atau menjelang musim penghujan. Pengolahan tanah dilakukan sesuai kondisi lahan. Pada prinsipnya pengolahan tanah dilakukan untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman, yaitu menciptakan keseimbangan antara padatan, aerasi dan kelembaban tanah. Ada lahan yang perlu pengolahan tanah sedikit (minimum tillage) atau bahkan tidak perlu pengolahan tanah (zerro tillage) seperti tanah podzolik merah Kuning di Sumatra yang memiliki tingkat kemiringan > 10%. Karena jika dilakukan pengolahan tanah justru akan merugikan disamping menambah biaya juga menyebabkan tanah lebih peka terhadap erosi sehingga kesuburannya menurun. Demikian pula hasil padi yang diperoleh antara sistem olah tanah sempurna dengan oleh tanah minimum tidak berbeda nyata, sehingga sistem olah tanah minimum lebih ekonomis. Cara pengolahan tanah adalah sebagai berikut:
Lahan dibersihkan dari tanaman penggangu dan rumput sambil memperbaiki pematang dan saluran drainase.
Tanah dibajak dua kali pada kedalaman 25-30 cm, tanah dibalik.
Pemupukan organik diberikan pada waktu pembajakan yang kedua sebanyak 20 ton/ha.
Untuk menghaluskan tanah, tanah digaru lalu diratakan.
Tanah dibiarkan sampai hujan turun.
Dalam budidaya tanpa olah tanah untuk mengendalikan gulma digunakan herbisida. Sebelum aplikasi herbisida dilakukan, gulma (terutama alang-alang) direbahkan atau dibakar terlebih dahulu, setelah tumbuh sekitar 60 cm (tidak sedang berbunga) baru diadakan penyemprotan. Takaran herbisida jenis Roundup antara 5-6 l/ha dengan pelarut air antara 200-800 l/ha.
4.1.5.3 Waktu tanam
Penaman yang baik dilakukan setelah terdapat 1 – 2 kali hujan, awal musim penghujan (Oktober – Nopember). Bahkan ada petani yang telah menebar benih pagi gogo sebelum hujan turun atau yang lebih dikenal dengan sistem Sawur tinggal. Sistem tanam sawur tinggal dapat dianjurkan pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan sedikit (bulan basah antara 3 – 4 bulan) per tahun dan sulit mendapatkan tenaga kerja.
4.1.5.4 Penanaman
Penanaman padi gogo pada dasarnya dapat dilakukan dengan tiga macam cara yaitu :
1. Cara tanam disebar
Cara tanam ini dilakukan dengan menyebar rata diatas permukaan tanah atau lahan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Kebutuhan benih pada cara ini biasanya lebih banyak dibandingkan cara yang lain, yaitu berkisar 60 – 70 kg/ha. Cara tanam ini mempunyai keuntungan tenaga kerja tanam yang dibutuhkan sedikit. Kelemahan dari cara ini antara lain :
Memerlukan benih lebih banyak
Resiko benih dimakan hama lebih tinggi, karena di permukaan
Tanaman lebih peka terhadap kekeringan atau kekurangan air.
Resiko benih hanyut jika terjadi hujan lebat lebih tinggi
Lebih sulit dalam perawatan, termasuk pengendalian gulma.
Untuk mengurangi resiko atau kelemahan tersebut maka perlu dilakukan antisipasi seperti pembuatan saluran drainase atau parit-parit sehingga terbentuk bedeng-bedeng untuk mencegah genangan air. Guna mengendalikan rumput sebaiknya diaplikasikan herbisida pra tumbuh sebelum sebar benih. Penggunaan seed treatment untuk menanggulangi hama.
2. Cara tanam alur
Lahan yang telah dipersiapkan dibuat alur-alur sedalam 3 – 4 cm, dengan jarak antar alur 20 – 25 cm. Kemudian dalam alur tersebut disebarkan benih padi secara iciran, artinya benih padi dijatuhkan secara manual dengan tangan dan diatur sedemikian rupa sehingga benih jatuh dalam alur tersebut secara merata. Setelah itu benih dalam alur ditutup kembali dengan tanah. Kebutuhan benih cara tanam alur ini berkisar antara 40 – 50 kg/ha, jadi lebih sedikit dibandingkan dengan sistem sebar.
3. Cara tanam tugal
Pada cara tanam ini lahan yang sudah siap dibuat lubang-lubang tanam dengan menggunakan tugal. Pada umumnya untuk pertanaman padi gogo menggunakan jarak tanam 20 x 20 cm. Setelah lubang bekas tugal terbentuk kemudian 2 – 3 butir benih dimasukkan ke dalam setiap lubang tanam dan selanjutnya ditutup kembali dengan tanah. Sebaiknya sebelum ditanam benih direndam sekitar 6 – 12 jam, kemudian dikeringanginkan sekitar 6 – 12 jam. Pada cara tanam dengan tugal ini kebutuhan benihnya ± 30 kg/ha, dan perawatan tanaman akan lebih mudah. Oleh karena itu cara ini yang paling banyak dipraktekkan oleh petani meskipun memerlukan tenaga kerja tanam lebih banyak dibandingkan cara sebat atau alur.
Jarak tanam atau jarak antar larik dan jumlah benih/lubang/ha sangat tergantung pada tingkat kesuburan tanah dan kualitas benih yang ditanam. Semakin subur tanah, jarak tanam dapat semakin rapat. Demikian pula, semakin baik kualitas benih, maka semakin sedikit jumlah benih yang diperlukan. Jarak tanam, jumlah benih dan cara tanam dapat berpengaruh terhadap hasil padi gogo di lahan kering.
E. Pemeliharaan
1. Penyiraman
Penyulaman Padi Gogo dilakukan pada umur 1-3 minggu setelah tanam. Hal tersebut dikarenakan waktu tersebut adalah waktu terbaik.
2. Penyiangan
Dilakukan secara mekanis dengan cangkul kecil, sabit atau dengan tangan waktu tanaman berumur 3-4 minggu dan 8 minggu. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan pertama dan 1-2 minggu sebelum muncul malai.
3. Pemupukan
Pupuk yang digunakan dalam budidaya padi gogo sebaiknya dikombinasikan antara pupuk organik dan pupuk anorganik. Pemberian pupuk organik (pupuk kandang atau kompos), dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Sedangkan pemberian pupuk anorganik yang dapat menyediakan hara dalam waktu cepat, pada dosis yang sesuai kebutuhan tanaman berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan hasil.
Pupuk organi diaplikasikan pada saat penyiapan lahan. Pupuk ini dipakai untuk meningkatkan kandungan C organik tanah dan meningkatkan kehidupan mikroorganisme tanah. Dosis pupuk pada pertanaman padi gogo harus disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanahnya. Jenis pupuk anorganik yang diberikan berupa 150-200 kg/ha Urea, 75 kg/ha TSP dan 50 kg/ha KCl. Pupuk TSP dan KCl diberikan saat tanam dan urea pada 3-4 minggu dan 8 minggu setelah tanam. Pupuk urea , TSP maupun KCl sebaiknya diberikan dalam alur atau ditugal kemudian ditutup kembali dengan tanah untuk mencegah kehilangan unsurnya.
4.2 Konsep Sistem Pertanian Berkelanjutan Budidaya Padi Gogo Lahan Marginal
Pada lahan marginal, untuk menangani masalah kekurangan unsur hara pada tanah dan untuk menjaga keberlanjutan suatu sistem pertanian, diperlukan konsep sistem pertanian yang mengarah pada sistem pertanian berkelanjutan. Beberapa cara yang dapat diaplikasikan dalam hal konsep pertanian berkelanjutan adalah; menerapkan sistem pertanian agropastura, menerapkan sistem pertanian dengan tumpang sari, merapkan sistem pertanian dengan input pupuk organik (pupuk kandang), mengaplikasikan mikoriza.
4.2.1 Konsep Agroforestri (Agropastura)
Pada dasarnya agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan, di mana masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut
Agrisilvikultur : Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian.
Agropastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen peternakan.
Silvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan.
Agrosilvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan.
Pada lahan marginal, aplikasi yang paling mudah untuk diterapkan mengenai sistem pertanian berbasis Agroforestri adalah menerapkan sistem pertanian berbasis Agropastura. Hal tersebut beralasan dikarenakan kotoran ternak dapat langsung digunakan sebagai pupuk organik. Pupuk organik tersebut memiliki kelebihan antara lain memiliki kandungan nutrisi yang lengkap bagi tanaman dan bersifa slow-release.
4.2.2 Pertanian Tumpang Sari pada Budidaya Padi Gogo Lahan Marginal
Tanaman pangan sebagai tanaman tumpangsari yang umum diusahakan petani adalah; padi gogo, kacang-kacangan dan juga sayuran. Tanaman pangan yang diusahakan sebagai tanaman tumpangsari, sebaiknya mengacu pada pola tanam berbasis padi gogo, yaitu padi gogo-kedelai-kacang tunggak/kacang hijau. Padi gogo ditanam pada awal musim hujan, dikuti oleh kedelai dan terakhir kacang hijau atau kacang tunggak yang lebih tahan kering. Budidaya padi gogo membutuhkan bulan basah (>200 mm/bulan) secara berurutan minimal 4 bulan, sedangkan untuk tanaman palawija lainnya minimal 100 mm/bulan. Untuk efisiensi tenaga kerja dan mengurangi resiko terjadinya erosi yang berlebihan sebaiknya menggunakan sistem olah tanah minimal. Pengolahan tanah yang agak intensif hanya untuk padi gogo dan dilakukan pada akhir musim kemarau, jadi tanah dalam keadaan kering. Sedangkan untuk pertanaman kedua dan ketiga (kedelai dan kacang hijau/kacang tunggak) dilakukan dengan tanpa olah tanah. Untuk menekan pertumbuhan gulma dan menjaga kelembaban tanah, sisa tanaman sebelumnya dijadikan mulsa. Dengan demikian permukaan tanah akan terusik secara minimal dan erosi dapat diminimalkan. Berdasarkan pengalaman (hasil penelitian sebelumnya), tingkat hasil gabah dapat mencapai antara 2,5-5,5 t/ha GKG, kedelai sekitar 1,0-1,5 t/ha dan kacang hijau sekitar 1,0 t/ha. Bila dihitung dengan nilai setara gabah, penerapan pola tanam intensif dengan olah tanah minimum, hasil yang mencapai sekitar 10 t/ha/tahun, tidak kalah dengan produktivitas lahan sawah (Toha et al., 2006).
Beberapa keuntungan dengan adanya usaha tanaman tumpangsari diantara tanaman pokok hutan yang masih muda adalah: 1) produksi tanaman pangan meningkat, pendapatan petani meningkat; 2) berfungsi dalam persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman pokok, mengurangi biaya penyiangan; 3) kesuburan tanah meningkat (residu pupuk tanaman pangan, penambahan bahan organik tanah/jerami); 4) mengurangi pengembalaan ternak, pemeliharaan ternak lebih intensif; dan 5) dampak sosial/ekonomi yang baik bagi masyarakat sekitar hutan, mengurangi penjarahan hutan (Toha, 2002; 2005).
Pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM) dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam pelaksanaannya masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra kerja Perum Perhutani dapat berperan aktif dalam memelihara kelestarian sumberdaya hutan. Dalam aspek perencanaan dan pembinaan, Perum Perhutani mempunyai tanggung jawab penuh dan bersama pemerintah daerah langsung mengarahkan dan mensosialisasikan kegiatan yang akan dilakukan bersama masyarakat sekitar hutan. Secara simultan akan diupayakan sumberdaya hutan tetap lestari, pendapatan Perum Perhutani meningkat dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat (Perhutani, 2004).
4.2.3 Pengaplikasian Pupuk Hayati Mikoriza pada Padi Gogo
Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistis (saling menguntungkan) antara cendawan/jamur (mykes) dan perakaran (rhiza) tanaman. Mikoriza mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman (pertanian, kehutanan, perkebunan dan tanaman pakan) dan membantu dalam meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara (terutama fosfor) pada lahan marginal.
Cendawan ini membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang biak jika berassosiasi dengan tanaman inang. Sampai saat ini berbagai usaha telah dilakukan untuk menumbuhkan cendawaan ini dalam media buatan, akan tetapi belum berhasil. Faktor ini merupakan suatu kendala yang utama sampai saat ini yang menyebabkan CMA belum dapat dipoduksi secara komersil dengan menggunakan media buatan, walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman sangat mengembirakan. Spora cendawan ini sangat bervariasi dari sekitar 100 mm sampai 600 mm oleh karena ukurannya yang cukup besar inilah maka spora ini dapat dengan mudah diisolasi dari dalam tanah dengan menyaringnya.
Cendawan CMA membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule), vesikel (vesicle) dan spora. Berikut ini dijelaskan sepintas lalu mengenai struktur dan fungsi dari organ tersebut serta penjelasan lain.
Prinsip kerja dari mikoriza ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara.
Pada tanaman padi gogo, aplikasi mikoriza dapat meningkatkan kuantitas dari Indeks Luas Daun, panjang akar, bobok kering, dan bobot basah. Hal tersebut sesuai dengan tabel berikut:
Perlakuan ILD 50% berbunga (HST) Bobot Basah (g) Bobot Kering (g) Panjang Akar (cm)
Tajuk Akar Tajuk Akar
Mikoriza
Tanpa Mikoriza 2.732b 78.067 152.620 22.873 31.438 6.129 23.896
Mikoriza 3.541a 76.467 170.520 25.767 35.128 7.284 24.927
Tabel:Pengaruh Pemberian Mikoriza pada Pertumbuhan Tanaman Padi Gogo
Sumber: Sukiman dkk., 2010
Dari data tabel tersebut dapat diketahui bahwa penambahan mikoriza pada padi gogo akan meningkatkan kuantitas pertumbuhan tanaman. Sejalan dengan itu, maka pemberian mikoriza dapat meningkatkan produktifitas tanaman padi gogo, khususnya pada lahan kering dimana kandungan unsur haranya sedikit.
Namun demikian, harga dari pupuk mikoriza ini terbilang mahal. Harga pupuk mikoriza adalah sebagai berikut:
No Nama Produk Kemasan/Paket Harga
1 Mosa Liquid 500 cc 26.100
2 Mosa Humus 1 kg 31.900
3 Mosa Mic 250 cc 21.750
4 Pupuk Kascing Pualam 20 kg 33.350
5 Tricovirin 500 gram 58.000
6 Metaret 500 gram 58.000
7 Mikoriza 1000 gram 58.000
Tabel: Harga Pupuk Mikoriza
4.2.4 Aplikasi Pupuk Kandang/Kompos pada Padi Gogo
Pupuk kandang mengandung 3 golongan komponen, yaitu litter (kotoran/sampah), ekscreta padat (bahan keluaran padat) dari binatang, dan ekscreta cair (urin). Sifat/keadaan dan konsentrasi relatif dari komponen-komponen ini dalam macam-macam pupuk kandang adalah sangat berbeda, tergantung dari jenis binatangnya, cara pemberian makanannya dan pemeliharaan binatang-binatang tersebut.
Sisa-sisa tanaman yang merupakan kotoran pada pupuk kandang biasanya tinggi kandungan karbohidrat, terutama selulosa, dan rendah kandungan nitrogen maupun mineral. Nitrogen dan mineral terkandung tinggi pada urin, dan kandungan karbohidratnya sangat kecil. Sedangkan ekscreta padat memiliki kandungan protein yang tinggi, sehingga memberika suatu media yang lebih seimbang bagi perkembangan mikro organisma. Komposisi kimiawi pupuk kandang dari berbagai jenis binatangnya adalah sebagai berikut:
Pupuk Kandang Kelembaban (%) Nitrogen (%) P2O5(%) K2O(%)
Lembu, sapi 80 1,67 1,11 0,56
Kuda 75 2,29 1,25 1,38
Domba 68 3,75 1,87 1,25
Babi 82 3,75 3,13 2,50
Ayam 56 6,27 5,92 3,27
Merpati 52 5,68 5,74 3,23
Tabel: Kandungan nutrisi pupuk kandang
Aplikasi pupuk kandang biasannya dicapur dengan sampah berupa daun dan menjadi kompos. Pada tanaman padi gogo, penggunaan pupuk kompos juga menunjukkan tren positif berupa peningkatan perumbuhan vegetatif.
Dari data yang ditunjukkan diketahui bahwa pengaplikasian pupuk kompos memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan tanaman padi gogo. Kualitas pupuk kompos juga lebih baik ketimbang pupuk kimia.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Luas lahan marginal di Indonesia cukup besar dan sanga berpotensi dikembangkan tanaman padi gogo.
Tanaman padi gogo adalah varietas padi yang dapat ditanam pada lahan marginal karena sifatnya yang sedikit membutuhkan air.
Untuk menjaga keberlanjutan pertanian padi gogo di lahan marginal, maka perlu dilakukan sistem pertanian yang menggunkan input non kimia seperti pemanfaatan pupuk kandang dan pupuk mikoriza. Selain itu, penggabungan dengan sistem perternakan (agropastura) dan sistem tumpang sari merupakan metode yang dianjurkan.
5.2 Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut baik berupa kajian pustaka dan penelitian mengenai sistem pertanian berkelanjutan di lahan marginal khususnya pada padi gogo.
Perlu adanya penyempurnaan dari makalah ini agar diperoleh data yang lebih sistematis dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Alfons, Janes dan Hutuely, Luthfie. 2010. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Gogo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku.
Balai Penelitian Tanaman Padi. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Departemen Pertanian.
Ciptadi, Didik. 2009. Pengaruh Aplikasi Berbagai Sumber Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB
Perhutani. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Perum Perhutani, KPH Indramayu. 17 hal.
Sukiman dkk. 2010. Respon Tanaman Padi Gogo Terhadap Stress Air dan Inokulasi Mikoriza. Berita Biologi. 10 (2) : 249 – 255.
Toha, H..M., 2002. Padi Gogo Sebagai Tanaman Sela Perkebunan dan HTI Muda. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Padi.
Toha, H M. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 48 hal.
Toha, H M., K Pirngadi dan Iwan Yuliardi. 2006. Peningkatan produktivitas padi gogo sebagai tanaman sela hutan jati muda melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Laporan Tahunan 2005. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. 37 hal.
Penurunan produksi bahan pangan nasional yang dirasakan saat ini lebih disebabkan oleh semakin sempitnya luas lahan pertanian yang produktif (terutama di pulau Jawa) sebagai akibat alih fungsi seperti konversi lahan sawah, ditambah isu global tentang meningkatnya degradasi lahan (di negara berkembang). Salah satu alternatif pilihan yang diharapkan dapat meningkatkan potensi produksi tanaman dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan adalah pendayagunaan lahan kering. Selain karena memang tersedia cukup luas, sebagian dari lahan kering belum diusahakan secara optimal sehingga memungkinkan peluang dalam pengembangannya.
Secara umum sistem pertanian di Indonesia, khususnya yang menyangkut budidaya pertanian tanaman pangan dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu pertanian lahan basah/ sawah dan pertanian lahan kering. Seperti diketahui, pembangunan pertanian di Indonesia selama ini terfokus pada peningkatan produksi pangan, terutama beras, sehingga sebagian besar dana dan daya telah dialokasikan untuk program-program seperti intensifikasi, jaringan-jaringan pengairan dan pencetakan sawah.
Sebaliknya, ciri usahatani bukan sawah ternyata telah menyebabkan kurang diprioritaskannya pertanian lahan kering di dalam proses peningkatan produksi pangan. Namun, dengan semakin meningkatnya alih fungsi lahan, disinyalir peluang penggunaan lahan sawah untuk usaha pertanian makin hari makin menyempit sehingga pengalihan usaha ke lahan kering makin terasa diperlukan.
Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. Untuk memudahkan pengutaraan dalam penyajian ini, yang dimaksud lahan kering adalah lahan atasan, karena kebanyakan lahan kering berada di lahan atasan. Belakangan ini pengertian yang tersirat dalam istilah lahan kering yang digunakan masyarakat umum banyak mengarah kepada lahan kering dengan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap.
Ditinjau dari segi luasannya, potensi lahan kering di Indonesia tergolong tinggi dan masih perlu mendapat perhatian yang lebih bagi pengembangannya, namun apabila ditinjau dari sifat/ karakteristik lahan kering seperti diuraikan tersebut di atas, sangat diperlukan beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas yang menjadi kendala dalam pengembangannya.
Lahan kering di Indonesia cukup luas, dengan taksiran sekitar 60,7 juta hektar atau 88,6% dari luas lahan, sedangkan luas lahan sawah hanya 7,8 juta hektar atau 11,4% dari luas lahan, sebagian besar banyak tersebar pada dataran rendah yakni hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m dpl (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl.(39,35%) dari total luasan lahan kering di Indonesia. Data terbaru, menyebutkan Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan.
Namun demikian, pertanian lahan kering dapat dikatakan tidak produktif. Petani adalah subyek yang paling merasakan dampak dari ketidakproduktifan lahan. Untuk mewujudkan pertanian di daerah lahan marginal, maka diperlukan meode sistem pertanian berkelanjutan di lahan kering terutama bagian hulu (up land), maka diperlukan sistem penggunaan lahan konservatif dan produktif secaraterus menerus, tidak hanya terhadap tanah tetapi juga secara keseluruhan dari sumberdayaalam, termasuk air, hutan, dan daerah pengembalaan.
Untuk mencoba mengkaji peluang dengan melihat sifat/ karakteristik dan potensi dari lahan kering dalam pengembangannya untuk pertanian tanaman pangan khususnya padi gogo, maka dibuatlah makalah mengenai penerapan sistem pertanian berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan marginal dan lahan kering untuk menanam varieas padi gogo.
1.2 Tujuan
Mengetahui penerapan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan marginal untuk penanaman padi gogo.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan Marginal
Sumber daya lahan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu sistem usaha pertanian, karena hampir semua usaha pertanian berbasis pada sumber daya lahan. Lahan adalah suatu wilayah daratan dengan ciri mencakup semua watak yang melekat pada atmosfer, tanah, geologi, timbulan, hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun yang bersifat mendaur, serta kegiatan manusia di atasnya. Jadi, lahan mempunyai ciri alami dan budaya.
Lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu. Sebenarnya faktor pembatas tersebut dapat diatasi dengan masukan, atau biaya yang harus dibelanjakan. Tanpa masukan yang berarti budidaya pertanian di lahan marginal tidak akan memberikan keuntungan. Ketertinggalan pembangunan pertanian di daerah marginal hampir dijumpai di semua sektor, baik biofisik, infrastruktur, kelembagaan usahatani maupun akses informasi untuk petani miskin yang kurang mendapat perhatian.
2.1.1 Sebaran Lahan Marginal di Indonesia
Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering kering berupa tanah Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, secara umum termasuk lahan marginal. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, prospeknya baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya.
2.1.2 Kesuburan Lahan Marginal
Tanah marginal atau “suboptimal” merupakan tanah yang potensial untuk pertanian, baik untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan maupun tanaman hutan. Secara alami, kesuburan tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh reaksi tanah yang masam, cadangan hara rendah, basa-basa dapat tukar dan kejenuhan basa rendah, sedangkan kejenuhan aluminium tinggi sampai sangat tinggi. Namun, penilaian produktivitas suatu lahan bukan hanya berdasarkan kesuburan alami (natural fertility), tetapi juga respons tanah dan tanaman terhadap aplikasi teknologi pengelolaan lahan yang diterapkan. Melalui perbaikan teknologi pengelolaanlahan, produktivitas suatu lahan dapat ditingkatkan secara signifikan dibandingkan dengan kondisi kesuburan tanahnya yang secara alami rendah. Namun, dalam beberapa decade terakhir, penilaian kesuburan tanah justru didasarkan pada kesuburan alami (natural fertility). Dalam kegiatan survei dan pemetaan tanah pada awal tahun 1960-an yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian Tanah, yang sekarang berubah nama menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), penilaian kelas kemampuan wilayah hanya didasarkan pada kualitas atau karakteristik tanah secara alami (virgin soil). Namun, sejak tahun 1970-an, penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dari dua arah, yaitu berdasarkan kondisi teknologi yang diterapkan saat ini (actual suitability) dan kondisi teknologi dengan perbaikan disesuaikan dengan kualitas dan karakteristik lahannya (potential suitability).
2.1.3 Contoh Lahan Marginal
Memanfaatkan lahan marjinal bukan hal yang tidak mungkin dilakukan. Lahan marjinal memang memiliki faktor pembatas yang besar untuk pertumbuhan tanaman yang oiptimal. Diantara faktor yang menyebabkan tanaman tidak bisa tumbuh dengan optimal yaitu dari segi fisik tanah, kimia tanah, maupun biologi tanah. Beberapa contoh lahan yang tergolong kedalam lahan marginal yaitu : tanah gambut, lahan bekas tambang, lahan kering, lahan pasir, lahan dekat pantai, dan gurun.
2.2 Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan atau pembangunan pertanian berkelanjutan pertama kali menjadi pembicaraan dunia pada tahun 1987, tahun 1992 diterima sebagai agenda politik oleh semua negara di dunia sebagaimana dikemukakan dalam Agenda 21, Rio de Jeneiro. Dalam pertemuan tersebut ditegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangka panjang dapat dilakukan bila dikaitkan dengan masalah perlindungan lingkungan. Pertemuan Johanesberg, Afrika Selatan (2-4 September 2002) yang merupakan pertemuan puncak Pembangunan Berkelanjutan (”World Summit On Sustainable Development”) menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan pandangan dan penanganan jangka panjang dengan partisipasi penuh semua pihak. Secara jelas dinyatakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang. Di bidang pertanian diterapkan dengan pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan atau berwawasan lingkungan, yang dalam pelaksanaannya sudah termasuk aspek pertanian organik.
Di Indonesia, konseptual pertanian berkelanjutan tercantum pada UU no. 12 tahun 1992. Akan tetapi pengertian pertanian berkelanjutan masih belum begitu jelas secara implementas. Namun secara umum, prinsip dari pertanian berkelanjutan adalah praktek pertanian yang menggunakan prinsip dasar ekologi serta ilmu tentang hubungan antara organisme dengan lingkungannya. Hal ini sama dengan penjelasan dari Wikipedia bahwa Sustainable agriculture is the practice of farming using principles of ecology, the study of relationships between organisms and their environment.
Pertanian berkelanjutan juga telah didefinisikan sebagai sistem pertanian yang terintegrasi dari praktek produksi tumbuhan dan hewan yang secara spesifik akan bertahan dalam waktu yang lama.
Aspek aspek pertanian berkelanjutan menurut Wikipedia salah satunya adalah Meningkatkan kualitas lingkungan dan sumber daya alam dengan mengacu kepada kebutuhan ekonomi pertanian.
Disebut sebagai pertanian berkelanjutan menurut karena dalam pertanian tersebut memiliki kegiatan yang secara ekonomis, ekologis, dan sosial bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, dan penggunaan sumberdaya serta lnvestasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan termaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, mernelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity). Sementara itu, keberlanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pernbangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pernbangunan, mobilitas. sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pernberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembang an kelembagaan.
2.3 Padi Gogo
Varietas unggul padi gogo telah dilepas sejak tahun 1960-1994. Varietas Danau Atas, Danau Tempe dan Laut Tawar merupakan varietas yang cocok dibudidayakan pada lahan podsolik merah kuning. Varietas Gajah Mungkur dan Kalimutu yang dilepas tahun 1994 cocok dikembangkan pada lahan-lahan kering yang tersebar di kawasan Nusa Tenggara.
2.3.4 Syarat Pertumbuhan
Pada dasarnya dalam budidaya tanaman, pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang paling penting adalah tanah dan iklim serta interaksi kedua faktor tersebut. Tanaman padi gogo dapat tumbuh pada berbagai agroekologi dan jenis tanah. Sedangkan persyaratan utama untuk tanaman padi gogo adalah kondisi tanah dan iklim yang sesuai. Faktor iklim terutama curah hujan merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan budidaya padi gogo. Hal ini disebabkan kebutuhan air untuk padi gogo hanya mengandalkan curah hujan.
1. Iklim
Padi gogo memerlukan air sepanjang pertumbuhannya dan kebutuhan air tersebut hanya mengandalkan curah hujan. Tanaman dapat tumbuh pada derah mulai dari daratan rendah sampai daratan tinggi. Tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 450 LU sampai 450 LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan selama 3 bulan berturut-turut atau 1500-2000 mm/tahun. Padi dapat ditanam di musim kemarau atau hujan. Pada musim kemarau produksi meningkat asalkan air irigasi selalu tersedia. Di musim hujan, walaupun air melimpah prduksi dapat menurun karena penyerbukankurang intensif. Di dataran rendah padi memerlukan ketinggian 0-650 m dpl dengan temperature 22-27 derajat C sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan temperature 19-23 derajat C. Tanaman padi memerlukan penyinaram matahari penuh tanpa naungan. Di Indonesia memiliki panjang radiasi matahari ± 12 jam sehari dengan intensitas radiasi 350 cal/cm2/hari pada musim penghujan. Intensitas radiasi ini tergolong rendah jika dibandinkan dengan daerah sub tropis yang dapat mencapai 550 cal/cm2/hari. Angin berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan tetapi jika terlalu kencang akan merobohkan tanaman.
2. Tanah
Padi gogo harus dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, sehingga jenis tanah tidak begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo. Sedangkan yang lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil adalah sifat fisik, kimia dan biologi tanah atau dengan kata lain kesuburannya. Untuk pertumbuhan tanaman yang baik diperlukan keseimbangan perbandingan penyusun tanah yaitu 45% bagian mineral, 5% bahan organik, 25% bagian air, dan 25% bagian udara, pada lapisan tanah setebal 0 – 30 cm.
Struktur tanah yang cocok untuk tanaman padi gogo ialah struktur tanah yang remah. Tanah yang cocok bervariasi mulai dari yang berliat, berdebu halus, berlempung halus sampai tanah kasar dan air yang tersedia diperlukan cukup banyak. Sebaiknya tanah tidak berbatu, jika ada harus < 50%. Keasaman (pH) tanah bervariasi dari 5,5 sampai 8,0. Pada pH tanah yang lebih rendah pada umumnya dijumpai gangguan kekahatan unsur P, keracunan Fe dan Al. Sedangkan bila pH lebih besar dari 8,0 dapat mengalami kekahatan Zn.
III. METODOLOGI
3.1. Lokasi
Data dan informasi dalam makalah ini diperoleh melalui penelusuran melalui internet dan studi pustaka. Akses internet dan studi pustaka dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas Jember dan Perpustakaan Pusat Universitas Jember
3.2 Waktu
Makalah ini disusun mulai tanggal 23 sampai 25 Oktober 2012 untuk diajukan tugas mata kuliah Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan.
3.3 Metode Penulisan
Makalah ini disusun dari data dan informasi berupa kajian putaka, terutama yang berkaitan dengan lahan marginal, pengertian sistem pertanian berkelanjutan, dan informasi mengenai padi gogo.
IV. PEMBAHASAN
4.1 Budidaya Padi Gogo Lahan Marginal
4.1.1 Varietas Padi Gogo
Sejak pertama kali diperkenalkan tahun 1960, varietas padi gogo telah berkembang beberapa macam. Masing-masing varietas memiliki keunggulan dan sifat yang berbeda beda. Hal tersebut dapat diperlihatkan dalam tabel berikut:
No Varietas Tahun Pepasan Umur (hari) Kisaran Hasil (t/ha) Rasa Nasi Ketahanan/ Toleransi
1 Danau Tempe 1991 135 3-5 Pera B
2 Situ Gintung 1992 140 2-3,5 Pulen B, BB, WC2
3 Gajah Mungkur 1994 95 2,5 Sedang KrFe
4 Kalimutu 1994 95 2,5 Sedang KrFe
5 Way Rarem 1994 105 3-4 Pera B, KrAl, Fe
6 Jatiluhur 1994 115 2,5-3,5 Pera B, Ngn
7 Cirata 1996 120 3-5 Pulen B
8 Towuti 1999 120 3-5/5-7 Pulen B, HDB,WC23
9 Limboto 1999 105 3-5 Sedang KrAl
10 Danau Gaung 2001 113 3-4 Sedang B, KrAl&Fe,BDC
11 Batu Tegi 2001 116 3 Pulen B,BDC, KrAl
12 Situ Patenggang 2002 115 3,6-5,6 Sedang B, Ngn
13 Situ Bagendit 2002 115 3-5/5-6 Pulen B, HDB
Tabel: Varietas dan Kualitas Padi Gogo
Sumber: (Alfon dan Hurtuel. 2010)
4.1.2 Sebaran Lahan Tanam Padi Gogo di Indonesia
Di Indonesia, sebaran tanam padi gogo berada pada tiap provinsi. Luasan lahan yang ditanami padi gogo saat ini adalah 1,12 juta ha dan tersebar pada berbagai provinsi.Pada saat ini, pertanaman terluas terdapat pada Pulau Jawa, diikuti kalimantan, Sumatra dan lainya. Namun demikian, Produksi total terbesar untuk tanaman padi gogo terdapat pada Pulau Jawa dengan lebih dari 1 juta ton pada tahun 2004. Untuk lebih jelasnya, data tersebut tertuang dalam tabel berikut :
Pulau Tahun
2000 2001 2002 2003 2004
Sumatera
Luaspanen (ha) 392.625 331.901 299.006 319.629 301.367
Produksi total (ton) 885.858 760.604 684.128 759.193 730.936
Produktivitas (t/ha) 2,256 2,293 2,288 2,375 2,425
Jawa
Luas panen (ha) 363.902 362.023 344.850 355.459 357.333
Produksi total (ton) 1.000.952 1.029.927 992.018 1.097.810 1.202.061
Produktivitas (t/ha) 2,751 2,845 2,877 3,088 3,081
Bali dan Nusa Tenggah
Luas Panen (ha) 113.400 91.726 93.942 100.038 115.174
Produksi Total (ton) 228.107 181.791 201.442 220.101 261.208
Produktivitas (t/ha) 2,012 1,982 2,144 2,200 2,268
Kalimantan
Luas Panen (ha) 253.626 254.228 290.963 281.876 302.971
Produksi Total (ton) 462.950 504.731 632.945 601.057 687.066
Produktivitas (t/ha) 1,825 1,985 2,175 2,132 2,268
Sulawesi
Luas Panen (ha) 40.087 26.719 29.119 28.736 32.368
Produksi Total (ton) 86.598 62.254 65.087 69.092 78.055
Produktivitas (t/ha) 2,210 2,168 2,235 2,161 2,411
Maluku dan Irian Jaya
Luas Panen (ha) 12,205 12.025 6.308 7.785 6,707
Produksi Total (ton) 25.186 25963 15.009 19.225 21.495
Produktivitas (t/ha) 2,064 2,159 2,379 2,469 2,469
Indonesia
Luas Panen (ha) 1.175.875 1.080.622 1.064.187 1.093.518 1.117.620
Produksi Total (ton) 2.691.651 2.565.270 2.590.629 2.759.476 2.879.821
Produktivitas (t/ha) 2,289 2,374 2,434 2,523 2,576
Tabel: Luas Panen, Produksi Total dan Produksi Tiap Hektar Padi Gogo Selama 5 Tahun.
Sumber: Balai Penelitian Tanaman Padi. 2005
4.1.3 Produktivitas Padi Gogo di Indonesia
Produksi padi gogo nasional baru mencapai 2,88 juta ton atau baru sekitar 5 % dari produksi padi nasional. Tingkat hasil padi gogo perhektar baru mencapai 2,58 ton/hektar atau hanya sekitar 45% dari produksi padi irigasi.
4.1.5 Teknik Budidaya Padi Gogo
4.1.5.1 Pemilihan Varietas
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan varietas padi gogo untuk diusahakan di suatu daerah antara lain adalah;
Kesesuaiannya terhadap lingkungan tumbuh (ketinggian tempat, iklim),
Umur tanaman yang erat kaitannya dengan curah hujan yang ada dan pola tanam,
Ketahanan terhadap hama dan penyakit,
Produktivitas.
Sedangkan syarat benih yang baik untuk budidaya tanaman padi gogo secara umum adalah sebagai berikut:
Tidak mengandung gabah hampa, potongan jerami, kerikil, tanah dan hama gudang.
Warna gabah sesuai aslinya dan cerah.
Bentuk gabah tidak berubah dan sesuai aslinya.
Daya perkecambahan >80%.
4.1.5.2 Pengolahan Lahan
Pengolahan tanah untuk pertanaman padi gogo dimulai sebelum atau menjelang musim penghujan. Pengolahan tanah dilakukan sesuai kondisi lahan. Pada prinsipnya pengolahan tanah dilakukan untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman, yaitu menciptakan keseimbangan antara padatan, aerasi dan kelembaban tanah. Ada lahan yang perlu pengolahan tanah sedikit (minimum tillage) atau bahkan tidak perlu pengolahan tanah (zerro tillage) seperti tanah podzolik merah Kuning di Sumatra yang memiliki tingkat kemiringan > 10%. Karena jika dilakukan pengolahan tanah justru akan merugikan disamping menambah biaya juga menyebabkan tanah lebih peka terhadap erosi sehingga kesuburannya menurun. Demikian pula hasil padi yang diperoleh antara sistem olah tanah sempurna dengan oleh tanah minimum tidak berbeda nyata, sehingga sistem olah tanah minimum lebih ekonomis. Cara pengolahan tanah adalah sebagai berikut:
Lahan dibersihkan dari tanaman penggangu dan rumput sambil memperbaiki pematang dan saluran drainase.
Tanah dibajak dua kali pada kedalaman 25-30 cm, tanah dibalik.
Pemupukan organik diberikan pada waktu pembajakan yang kedua sebanyak 20 ton/ha.
Untuk menghaluskan tanah, tanah digaru lalu diratakan.
Tanah dibiarkan sampai hujan turun.
Dalam budidaya tanpa olah tanah untuk mengendalikan gulma digunakan herbisida. Sebelum aplikasi herbisida dilakukan, gulma (terutama alang-alang) direbahkan atau dibakar terlebih dahulu, setelah tumbuh sekitar 60 cm (tidak sedang berbunga) baru diadakan penyemprotan. Takaran herbisida jenis Roundup antara 5-6 l/ha dengan pelarut air antara 200-800 l/ha.
4.1.5.3 Waktu tanam
Penaman yang baik dilakukan setelah terdapat 1 – 2 kali hujan, awal musim penghujan (Oktober – Nopember). Bahkan ada petani yang telah menebar benih pagi gogo sebelum hujan turun atau yang lebih dikenal dengan sistem Sawur tinggal. Sistem tanam sawur tinggal dapat dianjurkan pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan sedikit (bulan basah antara 3 – 4 bulan) per tahun dan sulit mendapatkan tenaga kerja.
4.1.5.4 Penanaman
Penanaman padi gogo pada dasarnya dapat dilakukan dengan tiga macam cara yaitu :
1. Cara tanam disebar
Cara tanam ini dilakukan dengan menyebar rata diatas permukaan tanah atau lahan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Kebutuhan benih pada cara ini biasanya lebih banyak dibandingkan cara yang lain, yaitu berkisar 60 – 70 kg/ha. Cara tanam ini mempunyai keuntungan tenaga kerja tanam yang dibutuhkan sedikit. Kelemahan dari cara ini antara lain :
Memerlukan benih lebih banyak
Resiko benih dimakan hama lebih tinggi, karena di permukaan
Tanaman lebih peka terhadap kekeringan atau kekurangan air.
Resiko benih hanyut jika terjadi hujan lebat lebih tinggi
Lebih sulit dalam perawatan, termasuk pengendalian gulma.
Untuk mengurangi resiko atau kelemahan tersebut maka perlu dilakukan antisipasi seperti pembuatan saluran drainase atau parit-parit sehingga terbentuk bedeng-bedeng untuk mencegah genangan air. Guna mengendalikan rumput sebaiknya diaplikasikan herbisida pra tumbuh sebelum sebar benih. Penggunaan seed treatment untuk menanggulangi hama.
2. Cara tanam alur
Lahan yang telah dipersiapkan dibuat alur-alur sedalam 3 – 4 cm, dengan jarak antar alur 20 – 25 cm. Kemudian dalam alur tersebut disebarkan benih padi secara iciran, artinya benih padi dijatuhkan secara manual dengan tangan dan diatur sedemikian rupa sehingga benih jatuh dalam alur tersebut secara merata. Setelah itu benih dalam alur ditutup kembali dengan tanah. Kebutuhan benih cara tanam alur ini berkisar antara 40 – 50 kg/ha, jadi lebih sedikit dibandingkan dengan sistem sebar.
3. Cara tanam tugal
Pada cara tanam ini lahan yang sudah siap dibuat lubang-lubang tanam dengan menggunakan tugal. Pada umumnya untuk pertanaman padi gogo menggunakan jarak tanam 20 x 20 cm. Setelah lubang bekas tugal terbentuk kemudian 2 – 3 butir benih dimasukkan ke dalam setiap lubang tanam dan selanjutnya ditutup kembali dengan tanah. Sebaiknya sebelum ditanam benih direndam sekitar 6 – 12 jam, kemudian dikeringanginkan sekitar 6 – 12 jam. Pada cara tanam dengan tugal ini kebutuhan benihnya ± 30 kg/ha, dan perawatan tanaman akan lebih mudah. Oleh karena itu cara ini yang paling banyak dipraktekkan oleh petani meskipun memerlukan tenaga kerja tanam lebih banyak dibandingkan cara sebat atau alur.
Jarak tanam atau jarak antar larik dan jumlah benih/lubang/ha sangat tergantung pada tingkat kesuburan tanah dan kualitas benih yang ditanam. Semakin subur tanah, jarak tanam dapat semakin rapat. Demikian pula, semakin baik kualitas benih, maka semakin sedikit jumlah benih yang diperlukan. Jarak tanam, jumlah benih dan cara tanam dapat berpengaruh terhadap hasil padi gogo di lahan kering.
E. Pemeliharaan
1. Penyiraman
Penyulaman Padi Gogo dilakukan pada umur 1-3 minggu setelah tanam. Hal tersebut dikarenakan waktu tersebut adalah waktu terbaik.
2. Penyiangan
Dilakukan secara mekanis dengan cangkul kecil, sabit atau dengan tangan waktu tanaman berumur 3-4 minggu dan 8 minggu. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan pertama dan 1-2 minggu sebelum muncul malai.
3. Pemupukan
Pupuk yang digunakan dalam budidaya padi gogo sebaiknya dikombinasikan antara pupuk organik dan pupuk anorganik. Pemberian pupuk organik (pupuk kandang atau kompos), dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Sedangkan pemberian pupuk anorganik yang dapat menyediakan hara dalam waktu cepat, pada dosis yang sesuai kebutuhan tanaman berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan hasil.
Pupuk organi diaplikasikan pada saat penyiapan lahan. Pupuk ini dipakai untuk meningkatkan kandungan C organik tanah dan meningkatkan kehidupan mikroorganisme tanah. Dosis pupuk pada pertanaman padi gogo harus disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanahnya. Jenis pupuk anorganik yang diberikan berupa 150-200 kg/ha Urea, 75 kg/ha TSP dan 50 kg/ha KCl. Pupuk TSP dan KCl diberikan saat tanam dan urea pada 3-4 minggu dan 8 minggu setelah tanam. Pupuk urea , TSP maupun KCl sebaiknya diberikan dalam alur atau ditugal kemudian ditutup kembali dengan tanah untuk mencegah kehilangan unsurnya.
4.2 Konsep Sistem Pertanian Berkelanjutan Budidaya Padi Gogo Lahan Marginal
Pada lahan marginal, untuk menangani masalah kekurangan unsur hara pada tanah dan untuk menjaga keberlanjutan suatu sistem pertanian, diperlukan konsep sistem pertanian yang mengarah pada sistem pertanian berkelanjutan. Beberapa cara yang dapat diaplikasikan dalam hal konsep pertanian berkelanjutan adalah; menerapkan sistem pertanian agropastura, menerapkan sistem pertanian dengan tumpang sari, merapkan sistem pertanian dengan input pupuk organik (pupuk kandang), mengaplikasikan mikoriza.
4.2.1 Konsep Agroforestri (Agropastura)
Pada dasarnya agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan, di mana masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut
Agrisilvikultur : Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian.
Agropastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen peternakan.
Silvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan.
Agrosilvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan.
Pada lahan marginal, aplikasi yang paling mudah untuk diterapkan mengenai sistem pertanian berbasis Agroforestri adalah menerapkan sistem pertanian berbasis Agropastura. Hal tersebut beralasan dikarenakan kotoran ternak dapat langsung digunakan sebagai pupuk organik. Pupuk organik tersebut memiliki kelebihan antara lain memiliki kandungan nutrisi yang lengkap bagi tanaman dan bersifa slow-release.
4.2.2 Pertanian Tumpang Sari pada Budidaya Padi Gogo Lahan Marginal
Tanaman pangan sebagai tanaman tumpangsari yang umum diusahakan petani adalah; padi gogo, kacang-kacangan dan juga sayuran. Tanaman pangan yang diusahakan sebagai tanaman tumpangsari, sebaiknya mengacu pada pola tanam berbasis padi gogo, yaitu padi gogo-kedelai-kacang tunggak/kacang hijau. Padi gogo ditanam pada awal musim hujan, dikuti oleh kedelai dan terakhir kacang hijau atau kacang tunggak yang lebih tahan kering. Budidaya padi gogo membutuhkan bulan basah (>200 mm/bulan) secara berurutan minimal 4 bulan, sedangkan untuk tanaman palawija lainnya minimal 100 mm/bulan. Untuk efisiensi tenaga kerja dan mengurangi resiko terjadinya erosi yang berlebihan sebaiknya menggunakan sistem olah tanah minimal. Pengolahan tanah yang agak intensif hanya untuk padi gogo dan dilakukan pada akhir musim kemarau, jadi tanah dalam keadaan kering. Sedangkan untuk pertanaman kedua dan ketiga (kedelai dan kacang hijau/kacang tunggak) dilakukan dengan tanpa olah tanah. Untuk menekan pertumbuhan gulma dan menjaga kelembaban tanah, sisa tanaman sebelumnya dijadikan mulsa. Dengan demikian permukaan tanah akan terusik secara minimal dan erosi dapat diminimalkan. Berdasarkan pengalaman (hasil penelitian sebelumnya), tingkat hasil gabah dapat mencapai antara 2,5-5,5 t/ha GKG, kedelai sekitar 1,0-1,5 t/ha dan kacang hijau sekitar 1,0 t/ha. Bila dihitung dengan nilai setara gabah, penerapan pola tanam intensif dengan olah tanah minimum, hasil yang mencapai sekitar 10 t/ha/tahun, tidak kalah dengan produktivitas lahan sawah (Toha et al., 2006).
Beberapa keuntungan dengan adanya usaha tanaman tumpangsari diantara tanaman pokok hutan yang masih muda adalah: 1) produksi tanaman pangan meningkat, pendapatan petani meningkat; 2) berfungsi dalam persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman pokok, mengurangi biaya penyiangan; 3) kesuburan tanah meningkat (residu pupuk tanaman pangan, penambahan bahan organik tanah/jerami); 4) mengurangi pengembalaan ternak, pemeliharaan ternak lebih intensif; dan 5) dampak sosial/ekonomi yang baik bagi masyarakat sekitar hutan, mengurangi penjarahan hutan (Toha, 2002; 2005).
Pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM) dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam pelaksanaannya masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra kerja Perum Perhutani dapat berperan aktif dalam memelihara kelestarian sumberdaya hutan. Dalam aspek perencanaan dan pembinaan, Perum Perhutani mempunyai tanggung jawab penuh dan bersama pemerintah daerah langsung mengarahkan dan mensosialisasikan kegiatan yang akan dilakukan bersama masyarakat sekitar hutan. Secara simultan akan diupayakan sumberdaya hutan tetap lestari, pendapatan Perum Perhutani meningkat dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat (Perhutani, 2004).
4.2.3 Pengaplikasian Pupuk Hayati Mikoriza pada Padi Gogo
Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistis (saling menguntungkan) antara cendawan/jamur (mykes) dan perakaran (rhiza) tanaman. Mikoriza mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman (pertanian, kehutanan, perkebunan dan tanaman pakan) dan membantu dalam meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara (terutama fosfor) pada lahan marginal.
Cendawan ini membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang biak jika berassosiasi dengan tanaman inang. Sampai saat ini berbagai usaha telah dilakukan untuk menumbuhkan cendawaan ini dalam media buatan, akan tetapi belum berhasil. Faktor ini merupakan suatu kendala yang utama sampai saat ini yang menyebabkan CMA belum dapat dipoduksi secara komersil dengan menggunakan media buatan, walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman sangat mengembirakan. Spora cendawan ini sangat bervariasi dari sekitar 100 mm sampai 600 mm oleh karena ukurannya yang cukup besar inilah maka spora ini dapat dengan mudah diisolasi dari dalam tanah dengan menyaringnya.
Cendawan CMA membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule), vesikel (vesicle) dan spora. Berikut ini dijelaskan sepintas lalu mengenai struktur dan fungsi dari organ tersebut serta penjelasan lain.
Prinsip kerja dari mikoriza ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara.
Pada tanaman padi gogo, aplikasi mikoriza dapat meningkatkan kuantitas dari Indeks Luas Daun, panjang akar, bobok kering, dan bobot basah. Hal tersebut sesuai dengan tabel berikut:
Perlakuan ILD 50% berbunga (HST) Bobot Basah (g) Bobot Kering (g) Panjang Akar (cm)
Tajuk Akar Tajuk Akar
Mikoriza
Tanpa Mikoriza 2.732b 78.067 152.620 22.873 31.438 6.129 23.896
Mikoriza 3.541a 76.467 170.520 25.767 35.128 7.284 24.927
Tabel:Pengaruh Pemberian Mikoriza pada Pertumbuhan Tanaman Padi Gogo
Sumber: Sukiman dkk., 2010
Dari data tabel tersebut dapat diketahui bahwa penambahan mikoriza pada padi gogo akan meningkatkan kuantitas pertumbuhan tanaman. Sejalan dengan itu, maka pemberian mikoriza dapat meningkatkan produktifitas tanaman padi gogo, khususnya pada lahan kering dimana kandungan unsur haranya sedikit.
Namun demikian, harga dari pupuk mikoriza ini terbilang mahal. Harga pupuk mikoriza adalah sebagai berikut:
No Nama Produk Kemasan/Paket Harga
1 Mosa Liquid 500 cc 26.100
2 Mosa Humus 1 kg 31.900
3 Mosa Mic 250 cc 21.750
4 Pupuk Kascing Pualam 20 kg 33.350
5 Tricovirin 500 gram 58.000
6 Metaret 500 gram 58.000
7 Mikoriza 1000 gram 58.000
Tabel: Harga Pupuk Mikoriza
4.2.4 Aplikasi Pupuk Kandang/Kompos pada Padi Gogo
Pupuk kandang mengandung 3 golongan komponen, yaitu litter (kotoran/sampah), ekscreta padat (bahan keluaran padat) dari binatang, dan ekscreta cair (urin). Sifat/keadaan dan konsentrasi relatif dari komponen-komponen ini dalam macam-macam pupuk kandang adalah sangat berbeda, tergantung dari jenis binatangnya, cara pemberian makanannya dan pemeliharaan binatang-binatang tersebut.
Sisa-sisa tanaman yang merupakan kotoran pada pupuk kandang biasanya tinggi kandungan karbohidrat, terutama selulosa, dan rendah kandungan nitrogen maupun mineral. Nitrogen dan mineral terkandung tinggi pada urin, dan kandungan karbohidratnya sangat kecil. Sedangkan ekscreta padat memiliki kandungan protein yang tinggi, sehingga memberika suatu media yang lebih seimbang bagi perkembangan mikro organisma. Komposisi kimiawi pupuk kandang dari berbagai jenis binatangnya adalah sebagai berikut:
Pupuk Kandang Kelembaban (%) Nitrogen (%) P2O5(%) K2O(%)
Lembu, sapi 80 1,67 1,11 0,56
Kuda 75 2,29 1,25 1,38
Domba 68 3,75 1,87 1,25
Babi 82 3,75 3,13 2,50
Ayam 56 6,27 5,92 3,27
Merpati 52 5,68 5,74 3,23
Tabel: Kandungan nutrisi pupuk kandang
Aplikasi pupuk kandang biasannya dicapur dengan sampah berupa daun dan menjadi kompos. Pada tanaman padi gogo, penggunaan pupuk kompos juga menunjukkan tren positif berupa peningkatan perumbuhan vegetatif.
Dari data yang ditunjukkan diketahui bahwa pengaplikasian pupuk kompos memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan tanaman padi gogo. Kualitas pupuk kompos juga lebih baik ketimbang pupuk kimia.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Luas lahan marginal di Indonesia cukup besar dan sanga berpotensi dikembangkan tanaman padi gogo.
Tanaman padi gogo adalah varietas padi yang dapat ditanam pada lahan marginal karena sifatnya yang sedikit membutuhkan air.
Untuk menjaga keberlanjutan pertanian padi gogo di lahan marginal, maka perlu dilakukan sistem pertanian yang menggunkan input non kimia seperti pemanfaatan pupuk kandang dan pupuk mikoriza. Selain itu, penggabungan dengan sistem perternakan (agropastura) dan sistem tumpang sari merupakan metode yang dianjurkan.
5.2 Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut baik berupa kajian pustaka dan penelitian mengenai sistem pertanian berkelanjutan di lahan marginal khususnya pada padi gogo.
Perlu adanya penyempurnaan dari makalah ini agar diperoleh data yang lebih sistematis dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Alfons, Janes dan Hutuely, Luthfie. 2010. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Gogo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku.
Balai Penelitian Tanaman Padi. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Departemen Pertanian.
Ciptadi, Didik. 2009. Pengaruh Aplikasi Berbagai Sumber Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB
Perhutani. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Perum Perhutani, KPH Indramayu. 17 hal.
Sukiman dkk. 2010. Respon Tanaman Padi Gogo Terhadap Stress Air dan Inokulasi Mikoriza. Berita Biologi. 10 (2) : 249 – 255.
Toha, H..M., 2002. Padi Gogo Sebagai Tanaman Sela Perkebunan dan HTI Muda. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Padi.
Toha, H M. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 48 hal.
Toha, H M., K Pirngadi dan Iwan Yuliardi. 2006. Peningkatan produktivitas padi gogo sebagai tanaman sela hutan jati muda melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Laporan Tahunan 2005. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. 37 hal.