Pengendalian Hama Spodoptera litura Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Menggunakan Agen Hayati

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kedelai merupakan salah satu komoditas tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia karena memiliki nilai ekonomi tinggi. Tanaman kedelai ini memiliki manfaat yang sangat banyak mulai dari olahan yang berbentuk protein sampai digunakan untuk insektisida. Kacang kedelai yang diolah menjadi tepung kedelai secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 kelompok manfaat utama, yaitu olahan dalam bentuk protein kedelai dan minyak kedelai. Dalam bentuk protein kedelai dapat digunakan sebagai bahan industri makanan yang diolah menjadi susu, vetsin, kue-kue, permen dan daging nabati serta sebagai bahan industri bukan makanan seperti kertas, cat cair, tinta cetak dan tekstil. Sedangkan olahan dalam bentuk minyak kedelai digunakan sebagai bahan industri makanan dan non makanan. Industri makanan dari minyak kedelai yang digunakan sebagai bahan industri makanan berbentuk gliserida sebagai bahan untuk pembuatan minyak goreng, margarin dan bahan lemak lainnya. Sedangkan dalam bentuk lecithin dibuat antara lain margarin, kue, tinta, kosmetika, insectisida dan farmasi.

Kebutuhan kedelai di Indonesia semakin tahun semakin meningkat karena permintaan kebutuhan yang digunakan untuk perindustrian dan konsumsi masyarakat mengakibatkan kebutuhan kedelai dalam negri tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumen sehingga pemerintah melakukan import dari negara penghasil kedelai. Pada dasarnya produktivitas mengalami peningkatan relatif tinggi dibandingkan dengan penurunan areal produksi tanaman kedelai yaitu produksi rata-rata meningkat 0,015% per tahun sedangkan untuk konsumsi per kapita meningkat pada tahun 2010 sekitar 1.64 juta ton dan diperkirakan pada 2013 sebesar 1.66 juta ton sehingga pemerintah perlu mengimport kedelai dari luar negri untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negri (Darsono, 2009).

Salah satu faktor penghambat dalam budidaya tanaman kedelai adalah hama dan penyakit yang menyerang tanaman kedelai. Hama tanaman kedelai meliputi Ulat polong (Etiela Zinchenella), Lalat kacang (Ophiomyia Phaseoli), Kepik hijau (Nezara Viridula), Ulat grayak (Prodenia Litura) sedangkan untuk penyakit tanaman kedelai meliputi antraknosa, karat daun dan lain-lain. 

Pengendalian hama yang umum dilakukan petani adalah penggunaan pestisida kimia yang dapat merusak lingkungan jika digunakan scara terus-menerus. Pada saat ini telah digunakan agen hayati yang dapat mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman tetapi belum dapat disebar luaskan karena belum ada produksi agen hayati secara masal. Agen hayati merupakan organisme yang dapat mengganggu, merusak atau bahkan mematikan organisme lain (hama dan penyakit tanaman) sehingga populasinya tidak mengganggu perkembangan tanaman.

1.2 Tinjauan Penelitian
Mempelajari dan memahami Pengendalian Hama Spodoptera litura Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Menggunakan Agen Hayati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Spodoptera litura
Spodoptera litura hidup dalam kisaran inang yang luas dan bersifat polifagus. Karena itu hama ini dapat menimbulkan kerusakan serius. Menurut Sudarmo (1993) kerusakan yang ditimbulkan pada stadium larva berupa kerusakan pada daun tanaman inang sehingga daun menjadi berlubang-lubang. Larva instar 1 dan 2 memakan seluruh permukaan daun, kecuali epidermis permukaan atas tulang daun. Larva instar 3-5 makan seluruh bagian helai daun muda tetapi tidak makan tulang daun yang tua.

Sebagai anggota ordo lepidoptera, S. Litura mempunyai tipe metamorfosis sempurna dengan stadia perkembangan telur, larva, pupa dan imago. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa produksi telur dapat mencapai 3000 butir per induk betina yang tersusun atas 11 kelompok dengan rerata 350 butir telur per kelompok. Telur biasanya diletakkan di bawah permukaan bawah daun secara berkelompok berkisar 4-8 kelompok. Jumlah telur setiap kelompok antara 30-100 butir. Telur tersebut ditutupi dengan bulu-bulu berwarna coklat keemasan. Diameter telur 0,3mm sedangkan lama stadia telur berkisarn antara 3-4 hari. Larva S. litura yang baru keluar memiliki panjang tubuh 2mm. Ciri khas larva S. litura adalah terdapat 2 buah bintik hitam berbentuk bulan sabit pada tiap ruas abdomen terutama ruas ke-4 dan ke-10 yang dibatasi oleh garis-garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur sepanjang badan (Arifin, 1992). Lama stadium larva 18-33 hari. Sebelum telur menetas, larva yang baru keluar dari telur tidak segera meninggalkan kelompoknya tetapi tetap berkelompok. Pada stadium larva terdiri dari enam instar dan berlangsung selama 13-17 hari dengan rerata 14 hari.

Menjelang masa prepupa, larva membentuk jalinan benang untuk melindungi diri dari pada masa pupa. Masa prepupa merupakan stadium larva berhenti makan dan tidak aktif bergerak yang dicirikan dengan pemendekan tubuh larva. Panjang prepupa 1,4-1,9 cm dengan rerata 1,68 cm dan lebarnya 3,5-4mm dengan rerata 3,7 mm. Masa prepupa berkisar antara 1-2 hari. Pupa S.litura berwarna merah gelap dengan panjang 15-20mm dan bentuknya meruncing ke ujung dan tumpul pada bagian kepala. Pupa terbentuk di dalam rongga-rongga tanah di dekat permukaan tanah (Arifin, 1992). Masa pupa di dalam tanah berlangsung 12-16 hari. Imago muncul pada sore hari dan malam hari. Pada pagi hari, serangga jantan biasanya terbang di atas tanaman, sedangkan serangga betina diam pada tanaman sambil melepaskan feromon. Perkembangan dari telur sampai imago berlangsung selama ± 35 hari. Faktor density dependent (bertautan padat) yaitu faktor penghambat laju populasi hama ini adalah sifatnya yang kanibal. Sedangkan populasi telur dan larva instar muda dapat tertekan oleh curah hujan yang tinggi, kelembaban yang tinggi yang mana membuat larva mudah terserang jamur. Musim kering dapat berpengaruh pada tanah dalam menghambat perkembangan pupa.

BAB III PEMBAHASAN

1. Pembahasan
Semua model baik dibangun untuk tujuan riset atau manajemen, didasarkan pada pencampuran data, pengetahuan dan pendugaan. Diperbolehkan bahkan diinginkan untuk model penelitian mempunyai proporsi dugaan yang tinggi. Model yang beorientasi untuk menejemen tidak hanya mempunyai proporsi dugaan yang kecil, akan tetapi sebaiknya didasarkan pada data dan pengetahuan yang relatif dapat dipercaya (Nirwanto, 2007). Manajemen hama dan penyakit, mencakup kegiatan-kegiatan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang dapat menyebabkan penurunan produksi dan mutu, dengan memperhatikan aspek keamanan produk dan kelestarian lingkungan serta sumber daya alam. Pengendalian OPT dilakukan dengan prinsip Pengendalian Hama Penyakit Terpadu (PHT). PHT dapat dilakukan dengan cara yaitu fisik, membunuh organisme pengganggu secara manual, biologi, memanfaatkan peranan agens hayati seperti predator dan pathogen, kultur teknis, dengan penanaman varietas toleran, pengaturan jarak tanam, pengaturan drainase, pemupukan berimbang, penjarangan buah, dll, dan kimiawi, merupakan alternatif terakhir, dengan mempertimbangkan ambang ekonomi.

Penggunaan musuh alami serangga hama berupa predator dan parasitoid (parasit serangga hama ) telah lama dilakukan, tetapi keberhasilanya belum optimal, dan pada umumnya digunakan untuk pengendalian hama, sedangkan untuk pengendalian penyakit masih belum banyak dilakukan. Predator serangga hama adalah mahluk hidup yang secara aktif memangsa serangga hama. Pada umumnya ukuran predator lebih besar dari serangga hama. Parasitoid ( parasit serangga hama ) adalah mahluk hidup / agensia hidup dalam melakukan siklus hidupnya dengan memanfaatkan serangga hama baik secara langsung maupun melalui telur serangga hama ( pasitoid telur ). Parasitoid biasanya berukuran lebih kecil dari serangga hama walaupun tidak seratus persen. Parasitoid akan masuk kedalam tubuh serangga hama dan berkembang biak didalam tubuh serangga tersebut.

Penggunaan predator berupa laba-laba dan jamur Metarizium untuk pengendalian wereng coklat telah dilaporkan tingkat keberhasilannya, tetapi keberhasilan tersebut masih dalam tingkat penelitian di laboratorium atau dirumah kaca. Sedangkan dilapangan belum mencapai keberhasilan yang optimal, karena berbagai faktor yang menghalangi perkembangan predator dan parasitoid tersebut. Misalnya parasitoid yang berupa mikro organisme sangat rentan terhadap perubahan faktor iklim. Sehingga kehidupannya akan cepat terganggu jika terjadi perubahan suhu atau kelembaban udara. Demikian juga serangga parasitoid yang menempatkan telurnya pada inangnya berupa hama tanaman. Efektifitasnya akan terlihat jika populasi hama tanaman lebih tinggi dari populasi parasitoid, dan pada saat itulah parasitoid akan bekerja menekan perkembangan populasi hama.

Agen hayati yang banyak dipasarkan saah satunya adalah Metarrhizium anisopliae. Metarrhizium anisopliae merupakan cendawan entomopatogen bagi serangga atau hama yang menyerang tanaman dengan cara menginfeksi serangga tersebut. Cara untuk penggunaan agen hayati ini sebagai berikut 2-3 gr  Metarrhizium anisopliae  diencerkan dalam 1 liter air lalu diaduk rata dan siap disemprotkan dengan volume 500 ltr/ha .Waktu penyemprotan pada sore hari disemprotkan pada saat  kerusakan daun mencapai 12,5 %. Agen hayati ini dijual dengan harga Rp. 4.000,- per boks (100 gram) sedangkan keperluan penggunaan pestisida kimia sebesar Rp. 200.000,- per 2 liter dan legin Rp.180.000,- dengan total penggunaan pestisida adalah Rp. 380.000,-. Penggunaan agen hayati dalam mengendalikan hama pada tanaman kedelai lebih menguntungkan dari pada penggunaan pestisida kimia tetapi dalam penggunaan agen hayati perlu memperhatikan lingkungan hidup yang sesuai sehingga agen hayati yang digunakan efektif dan memiliki dampak yang nyata dalam mengatasi populasi hama yang menyerang tanaman kedelai.

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah ada diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1.    Menajemen pengendalian dapat dilakukan dengan cara PHT.

2.    Prinsip dari PHT salah satunya adalah menggunakan agen hayati sebagai pengendalian hama pada tanaman kedelai.

3.    Penggunaan agen hayati seperti Metarrhizium anisopliae lebih ekonomis dari pada penggunaan pestisida.

DAFTAR PUSTAKA

http://agricenter.jogjaprov.go.id/index.php?action=generic_content.main&id_gc=301. Diakses pada tanggal 29 November 2012.

Arifin, M. 1992. Bioekologi, Serangan dan pengendalian Hama Pemakan Daun Kedelai. Dalam Risalah lokakarya PHT Tanaman Kedelai.

http://bibitunggulonline.wordpress.com/tag/agen-hayati/. Diakses pada tanggal 30 November 2012

Nirwanto. 2007. Pengantar Epidemi Dan Manajemen Penyakit Tanaman. Surabaya: UPN Veteran Jawa Timur.

Prayogo, dkk. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium Anisopliae Untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera Litura Pada Kedelai. jurnal Litbang Pertanian 24(1): 19-24.

http://warintek.bantulkab.go.id/web.php?mod=basisdata&kat=1&sub=2&file=59. Diakses pada tanggal 30 November 2012

Post a Comment

Previous Post Next Post